Eps. 5

2.6K 137 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sepintar apapun menyembunyikan kebenaran, lambat laun juga pasti akan ketahuan."

—🖤—

TERLIHAT seorang perempuan tengah terbaring lemah di atas ranjang pesakitan, segala jenis peralatan medis menempel pada tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda kesadaran, justru hanya suara mesin EKG yang berbunyi dengan nyaring.

"Rekam medisnya simpan di meja saya," katanya pada seorang perawat.

Perawat itu hanya mengangguk lantas berlalu pergi. Meninggalkan sang dokter dengan pasiennya yang kini berada di ruang ICU.

"Maafkan saya ...," lirihnya dengan suara lemah.

Angga memperhatikan secara seksama sosok yang menjadi korban atas keteledorannya. Rasa iba dan bersalah menjadi satu perpaduan yang menyesakkan.

Ia tak bermaksud untuk menyembunyikan masalah ini dari Nayya serta Hartawan. Ia hanya takut kasus kecelakaan ini tercium khalayak ramai, dan membuat karirnya hancur seketika. Lagipula ia pun masih bertanggung jawab, bahkan semua biaya rumah sakit dirinya yang tanggung.

Sudah dua minggu berlalu, tapi perempuan itu tak kunjung sadarkan diri. Ia masih koma dan bergantung hidup pada alat-alat rumah sakit. Ketakutan begitu membayang, terlebih jika mengingat kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Ia tak ingin dicap sebagai pembunuh.

"Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Anda, dan saya berharap akan ada keajaiban," gumamnya sembari menatap perempuan itu cukup lama.

"Saya tahu, saya sudah sangat keliru. Tapi saya harap Anda bisa memaafkan saya. Saya benar-benar menyesali keteledoran yang sudah saya lakukan," imbuh Angga.

Menyembunyikan korban yang sudah ia tabrak selama dua minggu terakhir membuat dirinya diliputi kegelisahan dan juga ketakutan. Pikirannya benar-benar kacau balau.

"Saya tidak sengaja menabrak Anda, tidak ada sedikit pun niat untuk menghilangkan nyawa Anda. Maafkan saya."

Angga menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Ia bangkit dari duduknya lalu berucap, "Saya pamit dulu, besok saya akan menemui Anda lagi."

Saat Angga membuka pintu, ia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria yang hendak memasuki ruangan tersebut. Mereka hampir bertabrakan karena sosok yang berdiri di hadapan Angga terlihat sangat tergesa-gesa.

"Maaf Dokter, saya terlalu terburu-buru. Apa saya bisa melihat calon istri saya?" tanyanya dengan napas tak menentu.

Angga terkejut bukan kepalang, ia membatu di tempatnya berdiri. Pikirannya semakin blank, bahkan ia terjebak dalam lamunan panjang.

"Dokter? Apa saya bisa menemui Zalfa?" ulangnya berhasil membuat kesadaran Angga kembali terkumpul.

Angga gelagapan untuk menjawab, sampai akhirnya sebuah anggukan singkat ia berikan. Tak lupa Angga pun memberi sedikit ruang agar Zayyan bisa masuk ke dalam.

Zayyan berlari cepat menuju brankar, tapi sontak ia langsung memalingkan wajah kala menyadari calon istrinya tak mengenakan jilbab. Ia beristigfar guna menenangkan hatinya terlebih dahulu, lalu kembali keluar untuk mencari seorang perawat yang bisa membantunya.

"Suster bisa tolong saya?" tanyanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" sahut sang perawat begitu ramah.

"Tolong pakaikan jilbab pada calon istri saya yang saat ini sedang berada di ruang ICU. Saya tidak ingin auratnya terumbar," terang Zayyan diakhiri dengan senyuman tipis.

Suster itu menarik kedua sudut bibirnya, mendadak kagum pada Zayyan. "Di rumah sakit ini tidak menyediakan jilbab, Mas, biasanya kalau ada pasien yang berkerudung, jilbabnya merupakan milik pribadi."

Zayyan mengangguk paham. "Kalau gitu, saya minta tolong Suster untuk menjaga ruangan calon istri saya dulu. Jangan izinkan siapa pun masuk sebelum saya kembali. Saya akan membeli kerudung sebentar."

Suster itu kembali mengangguk, dan menatap punggung Zayyan yang semakin jauh dengan senyuman lebar.

"Padahal baru calon, gimana kalau udah bener-bener jadi istri. Suami idaman, dapet yang modelan gitu di mana yah," monolog sang suster terbawa perasaan.

Heran memang, yang mendapat penjagaan ketat Zalfa, tapi yang meleleh malah orang lain yang hanya sebatas menyaksikan saja.

Tak membutuhkan waktu lama, sampai akhirnya Zayyan kembali dengan sebuah paper bag berisi beberapa jilbab instan yang dibelinya dari toko seberang rumah sakit.

"Suster tolong pakaikan, saya tunggu di luar. Terima kasih dan maaf telah merepotkan," tutur Zayyan sebelum sang suster mengikuti titahnya.

"Sudah selesai, Mas," kata perawat tersebut.

Zayyan mengangguk singkat. "Terima kasih banyak," ungkapnya sembari memberi sedikit uang sebagai bentuk terima kasih. Semula ditolak, tapi Zayyan tetap tak mau mengalah. Alhasil uang itu pun diterima dengan sukarela.

"Aku gak tahu apa yang terjadi sama kamu, aku baru mendapat kabar keberadaan kamu tadi malam, Fa. Maaf baru sekarang aku menemui kamu," cicit Zayyan sangat merasa bersalah.

Semalam pihak rumah sakit menghubunginya, dan memberi tahu ihwal kondisi Zalfa yang dua minggu lalu dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan. Ponsel perempuan itu rusak, dan baru selesai diperbaiki. Jadi, pihak rumah sakit baru sekarang bisa menghubungi pihak keluarga korban.

Selama dirawat pun Angga yang bertindak sebagai wali. Dokter muda itu tak berterus terang pada pihak rumah sakit, ia hanya mengatakan bahwa dirinya menemukan Zalfa yang sudah tak sadarkan diri di jalan. Angga beralibi tidak menemukan tanda pengenal ataupun hal-hal lainnya, karena memang sengaja ia sembunyikan.

Namun, ternyata dirinya kurang teliti. Ada sebuah ponsel yang ditemukan pihak rumah sakit di dalam saku gamis yang perempuan itu pakai. Kondisinya memang sudah rusak parah, tapi masih bisa diperbaiki. Guna mencari tahu data diri pasien serta mengabari pihak keluarga.

Zayyan tak banyak bersuara, ia hanya mampu diam dengan pikiran bercabang. Hatinya sudah sangat tak keruan, ia terpukul dan merasa sangat bersalah karena sudah mengabaikan panggilan Zalfa kala itu.

Setetes air mata meluncur dari sudut netra, tapi dengan segera ia menghapusnya. Zayyan mengukir senyum terpaksa lalu berkata, "Tabungan aku sebentar lagi cukup lho, Fa untuk kita nikah. Bangun yah, kita wujudkan mimpi kita untuk akad di Baitullah."

"Oh, iya, sekarang aku udah dapet kerjaan baru. Aku jadi chef di sebuah resort, kamu pasti senang, kan? Itu, kan doa yang selalu kamu panjatkan," ujarnya berusaha seriang mungkin.

"Resort-nya luas dan bagus banget lho, kamu pasti suka. Nanti aku ajak kamu keliling dan nginep di sana yah," imbuh Zayyan dengan suara bergetar.

"Kamu pamit buat pindah kost-an tahunya malah pindah ke rumah sakit. Gak ngabarin aku lagi, berhasil banget kamu buat aku jantungan." Kepala Zayyan tertunduk dan tangisnya tak lagi bisa dibendung.

"Jangan tinggalin aku, Fa," bisik Zayyan diliputi ketakutan dan juga kegelisahan.

Pria itu merasa tidak becus dalam menjaga Zalfa, padahal ia sudah berjanji akan selalu ada. Mengumbar janji memang mudah, tapi praktiknya ternyata susah. Ia sudah kecolongan. Zayyan berjanji akan mencari tahu dalang dari kecelakaan yang membuat calon istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.

Akan dirinya pastikan, orang itu takkan bisa lolos dan akan dijebloskan ke dalam jeruji besi.

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Sabtu 08 April 2023

Akhirnya Zayyan ketemu sama Zalfa juga. Kira-kira gimana yah kelanjutannya? Ada yang penasaran?

Next or No?

Selepas Gulita | END √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang