Eps. 25

1.6K 94 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan memutuskan sesuatu dalam keadaan kalut, meskipun terdesak tetap harus bisa berpikir bijak."

—🖤—

KECEMASAN yang semula bermuara, sedikit bisa sirna kala Zalfa sudah dinyatakan sadar sepenuhnya. Perempuan itu pun langsung dipindahkan ke ruang rawat, tidak bisa langsung pulang karena masih harus melakukan serangkaian pemeriksaan. Terlebih riwayat kesehatan Zalfa yang pernah mengalami koma.

"Masih ada yang pusing?" tanya Zayyan penuh perhatian.

"Sedikit, Mas," sahutnya masih dengan suara parau.

Zayyan mengelus puncak kepala Zalfa penuh sayang. "Kalau ada apa-apa cerita sama Mas yah," pinta Zayyan begitu lembut.

Zalfa mengangguk pelan. "Maafin aku yah, Mas, ngerepotin Mas sama Ibu terus."

Zayyan menggeleng tegas. "Mas nggak suka kamu ngomong kayak gitu. Kamu tanggung jawab, Mas, memang sudah seharusnya Mas melakukan ini untuk kamu."

Zalfa hanya tersenyum tipis, tatapannya menerawang jauh ke depan. Lagi-lagi dia harus terkurung di ruangan serba putih yang memiliki bau obat-obatan menyengat.

"Sebenarnya kamu kenapa, Fa? Kok bisa-bisanya ngurung diri di kamar, sampai pingsan lagi. Mas sama Ibu panik banget tadi," selorohnya mulai menggali informasi.

"Kepala aku tiba-tiba pusing, sakit banget. Aku mau nyamperin Ibu keluar, tapi malah jatoh," sahutnya dengan suara rendah.

Zayyan manggut-manggut. "Lain kali kalau lagi di kamar, pintunya jangan dikunci yah."

Sebuah anggukan singkat Zalfa berikan.

"Ada sesuatu yang membebani kamu, Fa? Mas lihat muka kamu murung dan sedih gitu," tanyanya.

Zalfa hanya berkawan geming, tatapannya sangat sulit untuk diartikan.

Zayyan menghapus peluh yang membanjiri kening sang istri lembut. "Kalau emang belum siap cerita nggak papa, tapi Mas minta sama kamu, jangan terlalu dipikirkan yah."

Depresi, satu kata itu berkemungkinan besar bisa Zalfa alami. Begitulah yang dokter katakan, terlebih melihat kondisi Zalfa saat ini. Belum lagi, Zayyan pun yakin bahwa ada sesuatu yang mengganjal pikiran sang istri. Dan Zayyan tidak ingin hal semacam ini berlarut-larut, hingga membuat kesehatan Zalfa menurun.

Zalfa yang acapkali mengeluhkan sakit di bagian kepala, semakin membuat Zayyan dirundung kecemasan. Saat ini dia berdebar menunggu hasil CT scan Zalfa keluar. Meskipun di rumah sakit sebelumnya sudah dilakukan, tapi untuk memastikan Zayyan kembali meminta untuk di CT scan ulang.

Jika perlu, pemeriksaan lebih lanjut. Dari mulai kepala sampai ujung kaki. Takut ada yang terlewat dan luput dari pantauan.

"Aku mau pulang, Mas," gumamnya berhasil menarik Zayyan dari lamunan panjang.

Zayyan menggeleng kuat. "Kamu masih perlu melakukan serangkaian pemeriksaan, dan lagi kondisi kamu juga belum memungkinkan untuk pulang. Mas minta sama kamu, untuk sedikit bersabar."

Zalfa hanya diam dan memalingkan wajahnya. Semakin lama dia di rumah sakit, maka akan semakin banyak juga pengeluaran Zayyan. Dia sudah sangat cukup merepotkan, membuang-buang waktu Zayyan hanya untuk merawatnya yang tidak bisa apa-apa, belum lagi uang yang harus Zayyan gelontorkan untuk biaya rumah sakit.

Kehadirannya di hidup Zayyan, memang tak lebih dari seorang benalu. Dia sangat amat merasa bersalah, telah melibatkan Zayyan terlalu jauh dalam hidupnya. Mungkin jika dulu dia menolak untuk menikah, masalahnya tidak akan serumit ini.

"Kalau kamu udah sembuh, kita pasti akan pulang kok. Sabar yah, Sayang," bujuknya seraya mengelus pipi Zalfa.

Zayyan terkejut saat merasakan pipi Zalfa yang basah, dan dia semakin dibuat cemas saat suara isakan mulai menguar.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mas panggilin dokter yah," paniknya hendak bangkit dari duduk.

Zalfa menahan Zayyan dengan menarik tangan lelaki itu. "Aku nggak papa."

"Kamu jangan kayak gini dong, Fa, Mas takut kamu kenapa-kenapa."

Zalfa menghapus air matanya, menghentikan isak tangisnya lantas berkata, "Aku bingung, entah harus bersyukur atau malah merasa bersalah. Mendapatkan suami seperti Mas itu anugerah, tapi bagi Mas mendapatkan istri seperti aku itu musibah. Aku hanya bisa menyusahkan Mas."

"Seharusnya pernikahan itu nggak pernah ada, bahkan akan lebih baik kalau aku mati saja. Dengan begitu Mas bisa bersama dengan perempuan yang memang layak untuk Mas peristri, nggak seperti aku yang lumpuh dan nggak berguna ini."

"Mas boleh ceraikan aku sekarang, aku sudah cukup sadar diri untuk nggak melibatkan Mas lagi dalam masalah yang aku hadapi," tukas Zalfa lalu membuang pandangan.

Dadanya sesak bukan kepalang, tapi dia harus segera mengambil keputusan. Sudah saatnya dia angkat kaki, dan kembali melanjutkan hidup seorang diri. Dulu saja dirinya mampu bertahan dan berjuang, sekarang pun pasti bisa.

Zayyan membatu di tempatnya, tatapan lelaki itu kosong seketika. Gemuruh di dada kian menggila, tapi bibirnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Tidak pernah sedikit pun terbersit dalam pikirannya, Zalfa akan mengatakan hal tersebut. Benar-benar sangat di luar dugaan.

"Dokter mengatakan aku kesulitan dalam berhubungan suami istri. Aku nggak bisa menjalankan kewajibanku dan Mas nggak bisa mendapatkan hak Mas sebagai suami. Bukankah keturunan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan dalam sebuah pernikahan? Tapi, sebagai istri aku nggak bisa memberikan itu."

Zalfa menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. "Ceraikan aku atau kalau Mas bisa berlaku adil, berpoligamilah," pungkas Zalfa diakhiri dengan sunggingan lebar.

Zayyan terpaku, melihat senyum palsu Zalfa malah kian membuat hatinya sakit bukan kepalang. Pikirannya benar-benar kosong, dia hanya mampu menatap tanpa kata, tapi air matanya meluncur bebas tanpa bisa dicegah.

Bagaimana mungkin Zalfa bisa berpikiran sejauh ini. Cerai? Poligami? Percayalah dua kata itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Menikah satu kali seumur hidup, itu sudah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Berpisah dengan Zalfa adalah mimpi buruk yang sampai kapan pun tidak ingin Zayyan lakukan. Sedangkan untuk berpoligami, Zayyan jelas akan menolaknya mentah-mentah. Meskipun dalam Islam diperbolehkan, tapi dirinya tidak akan sanggup jika harus menjalani biduk rumah tangga dengan dua istri.

Bersikap adil itu susah, tidak semua orang bisa melakukannya. Pasti akan condong pada salah satu pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang tersakiti.

"Mas keluar dulu, kamu perlu waktu untuk sendiri," katanya lantas berdiri dan mengecup lembut kening sang istri.

Akan lebih baik dia meninggalkan Zalfa sejenak, membiarkan perempuan itu berpikir lebih bijak. Tidak semua masalah dalam rumah tangga harus diselesaikan dengan perpisahan, tidak pula harus dituntaskan dengan opsi kedua. Sungguh, itu bukanlah suatu solusi, malah akan menimbulkan masalah baru yang semakin rumit lagi.

"Aku serius dengan apa yang aku katakan."

Langkah Zayyan tertahan di ambang pintu, kala mendengar suara lantang Zalfa yang begitu teguh pendirian.

Zayyan hanya sedikit memutar tubuh, lalu tersenyum. "Assalamualaikum."

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Minggu, 11 Juni 2023

Ada yang mau daftar jadi kandidat istri kedua Zayyan nggak?😂 ... Lagi buka lowongan tuh, CV-nya bisa langsung kirim ke Zalfa.

Next or No?

Selepas Gulita | END √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang