Eps. 40

2.2K 96 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Membalas keburukan dengan keburukan tidak lantas menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik."

—🖤—

ANGGA sudah tersudutkan, dirinya tak lagi bisa lari dari kenyataan. Dia dikepung Hartawan, Syaki, dan juga Zayyan di dalam sebuah ruangan. Sedangkan Shareefa sejenak dititipkan pada Harini.

"Seandainya dengan memenjarakan Mas Angga bisa membuat Zalfa kembali, pasti akan saya lakukan sejak tadi. Tapi, nyatanya jasad istri saya sudah terkubur di dalam tanah dan nggak akan bisa hidup lagi."

Angga meneguk ludahnya susah payah. "Kata maaf rasanya nggak akan pernah cukup untuk menebus kesalahan saya, tapi pada saat itu saya panik. Karier dan hubungan saya dengan Nayya menjadi taruhan kalau saya berterus terang. Hidup saya bisa hancur berantakan, belum lagi orang tua saya pun pasti akan terkena imbasnya. Maafkan saya, Zayyan. Maaf."

"Kamu tega menghancurkan hidup orang lain. Tapi kamu nggak mau hidup kamu hancur, bahkan untuk sekadar mempertanggungjawabkan perbuatan kamu sendiri?" sarkas Hartawan.

"Kecelakaan itu bukan karena faktor kesengajaan, saya benar-benar nggak berniat untuk mencelakai orang lain, bahkan sampai membuatnya koma. Mau bagaimanapun saya ini petugas medis, tugas saya menyembuhkan orang, bukan sebaliknya."

"Kenapa Mas Angga harus menyembunyikan Zalfa selama dua minggu di ruang ICU?"

"Saya nggak mau kasus ini tercium media dan membuat saya harus mendekam di penjara. Sebisa mungkin saya berusaha untuk menghilangkan jejak dan melenyapkan semua identitas Zalfa agar pihak rumah sakit nggak bisa menghubungi pihak keluarga," sahut Angga menunduk.

Zayyan menghela napas singkat. "Kenapa Mas Angga harus menutupinya dari Nayya dan juga Papa?"

Angga melirik sekilas ke arah Hartawan. "Hubungan saya dan Nayya sudah sangat serius dan hanya menunggu tanggal baik untuk menikah. Jika saya beberkan kebenaran itu, hubungan kami terancam bubar meskipun akhirnya saya dan Nayya memang berpisah."

"Seharusnya kamu berterus terang sejak awal? Bukan malah mengkambinghitamkan putri saya yang nggak tahu apa-apa!" sentak Hartawan begitu berang.

"Untuk masalah itu di luar kendali saya, Om. Saya mengira kasus Zalfa sudah selesai, nggak akan ada yang memperpanjang."

"Apa pun alasannya, lo tetap salah, Ngga. Lo wajib mempertanggungjawabkan perbuatan lo!" ujar Syaki begitu lantang.

Wajah Angga semakin pucat. "Jangan jebloskan saya ke penjara, istri saya sedang mengandung. Dia membutuhkan saya."

Zayyan menjatuhkan kepalanya di meja. Di satu sisi dia sangat ingin menjebloskan Angga, tapi di sisi lain dia pun merasa iba. Jadi serba salah.

Suara decitan pintu membuat keempat lelaki itu menatap objek yang sama.

"Kita tutup kasus ini, kita nggak usah memperpanjangnya lagi. Yang penting sekarang kita tahu, kalau bukan Nayya pelakunya, lagi pula Mas Dokter nggak lepas dari tanggung jawab. Mas Dokter memberikan perawatan terbaik, Mas Dokter juga membantu kita membayar rumah sakit, bahkan Mas Dokter pun mencarikan terapis supaya Zalfa bisa kembali pulih."

Harini mengelus pundak sang putra. "Membalas keburukan dengan keburukan nggak akan membuat kamu lebih baik. Justru memaafkan dan mengikhlaskan bisa membuat hati jauh lebih lapang. Sekarang bukan lagi tentang siapa yang menabrak Zalfa ataupun siapa yang menjadi perantara Zalfa menjemput ajalnya. Ini takdir Allah, hanya saja caranya melibatkan Mas Dokter dan juga Nayya."

"Bukankah Zalfa sudah meminta kamu untuk menutup kasus ini? Dia yang menjadi korban saja mampu ikhlas dan bersabar. Lantas apa hak kamu sampai begitu bersikukuh untuk menjebloskan Mas Dokter ke penjara? Ibu nggak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi pendendam, Ibu nggak pernah meminta kamu untuk menghakimi kesalahan orang lain. Kita hanya manusia biasa, khilaf sudah menjadi hal wajar yang nggak bisa kita hindarkan. Maafkan, Mas Dokter, Nak."

Zayyan menatap Harini begitu lekat, mata teduh sang ibu membuat kepalanya mengangguk pelan.

Harini mengelus puncak kepala Zayyan. "Kita buka lembaran baru, jangan lagi mengungkit masa lalu."

Zayyan berhambur ke dalam pelukan Harini. Ibunya ini memiliki hati yang luas dan selalu menyikapi segala sesuatu dengan hal-hal yang baik. Sekalipun yang terjadi pahit, tapi beliau berprinsip bahwa takdir Allah merupakan yang terbaik.

Keduanya mengurai rengkuhan. "Jadikan ini sebagai pembelajaran sekaligus evaluasi diri agar kamu lebih bisa mengontrol emosi. Kalau ada masalah dipikirkan dahulu, baik buruknya seperti apa."

Zayyan mengangguk mantap.

Angga menghampiri Zayyan, dia mengucapkan kata maaf dan terima kasih secara berulang. Mereka larut dalam pelukan, sebagai wujud damai.

Tak lupa Angga pun menghaturkan maaf dan terima kasih pada Harini, yang begitu berbaik hati menyelamatkannya dari jerat hukum yang sudah membayang.

"Kalau gue jadi Zayyan nggak akan pernah mau damai sama tuh orang. Meskipun kematian Zalfa bukan gara-gara Angga, tapi tetap aja tuh orang ikut berkontribusi," gumam Syaki sedikit tak suka melihat perdamaian di antara Zayyan dan Angga.

"Om juga nggak setuju sebenarnya, lebih milih memperkarakan kasus Zalfa ke penjara. Tapi, mau apa dikata, jalur kekeluargaan lebih dipilih Zayyan dan Bu Harini," timpal Hartawan yang kebetulan duduk bersisian dengan Syaki.

Syaki sedikit terperanjat, karena ternyata Hartawan masih mendengar gumamannya. Dia meringis pelan dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Efek jera itu perlu, agar para pelaku kejahatan nggak melakukan hal serupa secara berulang," tutur Hartawan.

Syaki mengangguk setuju. "Bener banget itu, Om."

"Mas Syaki dan Papa sedang berdiskusi?" tanya Zayyan samar-samar mendengar.

"Nggak, cuma lagi bisik-bisik tetangga aja. Iya, kan, Om?" sahut Syaki.

Hartawan geleng-geleng, merasa tak habis pikir dengan jawaban yang Syaki berikan. Tapi akhirnya mengangguk pelan.

"Alhamdulillah semuanya sudah clear, lebih baik kita makan bersama untuk mempererat tali persaudaraan. Sebagai bentuk rasa syukur juga karena permasalahan ini akhirnya benar-benar selesai," cetus Harini.

Syaki bergegas bangkit dari duduknya. "Kalau urusan makan, nggak bisa nolak. Aku maju paling depan."

Semuanya hanya bisa geleng-geleng kepala, seraya terkekeh pelan. Urusan perut, Syaki memang paling tidak bisa menolak. Harus disegerakan.

Di ruang makan sudah tersaji nasi beserta lauk pauk yang sebelumnya sudah Harini, Nayya, dan juga Shareefa siapkan.

Hartawan lebih dulu mengambil jatah makan, karena beliau dituakan, lantas dilanjut dengan Harini.

"Mau sama apa?" tanya Nayya pada Zayyan. Terbiasa untuk selalu mengambilkan alas makan untuk sang suami.

"Terserah kamu aja, Nay," jawab Zayyan.

Syaki membuang pandangan dan berdecak. "Drama lo pada, gue keburu jadi busung lapar ini. Nggak sekalian ngambilin juga buat gue, Nay?"

"Ambil sendiri, punya tangan, kan!" sembur Nayya setelah meletakkan kembali centong nasi.

Harini terkekeh pelan. "Ya udah Ibu ambilin khusus untuk Nak Syaki. Semoga besok-besok kalau ada acara makan bersama, sudah ada yang nyendokin nasi yah."

"Aamiin paling serius, Bu."

Semua yang ada di meja makan tertawa mendengar perkataan Syaki.

"Yuk bisa, yuk, tahun ini dapet kekasih halal," katanya menyemangati diri sendiri.

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Senin, 26 Juni 2023

Adem banget kalau lihat semuanya pada akur dan rukun. ☺️😌

Next or No?

Selepas Gulita | END √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang