Eps. 24

1.4K 85 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Patah hati yang dibuat sendiri ialah kala menaruh hati pada sosok yang tidak mungkin bisa dimiliki."

—🖤—

SEPULANGNYA dari resort, Zayyan mencari keberadaan Zalfa yang biasanya selalu menyambut di depan pintu. Tapi, sekarang, malah sang ibu yang pertama kali dilihatnya.

"Zalfa mana, Bu?" tanyanya saat sudah mengucapkan salam sekaligus mencium tangan Harini.

"Pulang dari rumah sakit, Zalfa langsung mengurung diri di kamar. Nggak tahu kenapa," sahut Harini sedikit panik.

"Kok bisa? Kenapa Ibu nggak kasih tahu Zayyan? Kalau kayak gitu, kan Zayyan bisa izin pulang lebih cepet," selorohnya membombardir sang ibu dengan sejumlah pertanyaan.

Harini menghela napas singkat. "Ibu kira Zalfa kecapekan karena, kan habis terapi. Tapi, sampai sekarang nggak keluar kamar juga. Ibu ketuk-ketuk nggak nyahut. Kamarnya juga dikunci."

"Ya udah Zayyan ke kamar dulu," pamitnya langsung memacu langkah.

Zayyan mengetuk dan memanggil istrinya beberapa kali, tapi tak membuahkan hasil. Pintu pun dikunci, beruntung dirinya mempunyai kunci cadangan. Namun, pada saat berusaha untuk dibuka, tetap tidak bisa. Sepertinya kunci yang di dalam masih menggantung di pintunya.

"Dobrak coba, Yan, Ibu takut terjadi apa-apa sama Zalfa," titah Harini cemas.

"Emang tadi di rumah sakit ada kejadian apa? Nggak mungkin, kan Zalfa tiba-tiba mengurung diri tanpa sebab yang jelas."

"Nggak ada apa-apa, Yan, semuanya sama seperti biasa. Cuma sebatas terapi dan konsultasi."

"Ibu yakin? Ibu selalu nemenin Zalfa, kan sepanjang terapi?"

"Ibu nemenin Zalfa, cuma pas sesi konsultasi Ibu kebelet, ke kamar mandi sebentar. Setelah itu konsultasi seperti biasa, tapi emang Zalfa jadi agak murung. Nggak seperti saat sebelum Ibu tinggal ke kamar mandi," jelas Harini.

"Nah kayaknya ada yang terjadi pas Ibu pergi ke kamar mandi. Kita harus cari tahu penyebabnya. Sekarang Zayyan butuh linggis untuk buka pintunya. Nanti tinggal panggil tukang aja buat benerin," katanya yang langsung Harini balas anggukan.

Zayyan langsung mencongkel pintu tersebut, tak membutuhkan waktu lama akhirnya bisa terbuka. Zayyan dibuat terkejut setengah mati saat melihat Zalfa yang sudah tak sadarkan diri. Dia bergegas menghampiri Zalfa yang terbaring mengenaskan di lantai. Kursi rodanya pun terguling di sisi perempuan itu.

Zayyan panik bukan main, dia langsung menggendong Zalfa dan berjalan secepat mungkin untuk segera mencari taksi, dia harus membawa Zalfa ke rumah sakit. Harini pun sama paniknya, dia setia mengintil di belakang sang putra.

Sampai akhirnya ada sebuah mobil yang berhenti di depan mereka. Zayyan sedikit terkejut saat kaca mobilnya diturunkan, di sana ada Nayya yang juga sama terkejutnya.

"Mbak Nayya bisa minta tolong, antar saya ke rumah sakit," katanya memohon.

Nayya mengangguk cepat dan segera membuka pintu mobil. Setelahnya mobil yang mereka tumpangi melesat membelah jalanan.

Sesekali Nayya menoleh ke belakang, di mana Zayyan berada. Lelaki itu duduk resah dengan kepala Zalfa berada dalam pangkuannya. Sedangkan Harini duduk di samping kemudi.

"Hp lo ketinggalan, Yan. Gue cuma mau anterin ini doang," cetusnya seraya menyerahkan gawai yang berada di dashboard pada Zayyan.

"Makasih, Mbak. Maaf jadi merepotkan dan sekarang malah harus mengantar saya ke rumah sakit," balas Zayyan sungkan dan tak enak.

"Santai aja, gue free kok. Emang Zalfa kenapa?" tanyanya penasaran.

"Ketahuan pas udah pingsan di lantai, kurang tahu bagaimana kronologis kejadiannya," jawab Harini.

Nayya menoleh sekilas ke samping. "Semoga semuanya baik-baik saja yah, Bu. Nggak ada sesuatu yang mengkhawatirkan."

Zayyan dan Harini mengaminkan dengan penuh harap.

Setelah perbincangan singkat tadi, keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Sampai akhirnya mobil yang Nayya kendarai berhenti tepat di depan lobi rumah sakit.

Nayya berlari untuk meminta brankar, tapi Zayyan tak mau menunggu lagi. Dia segera membawa Zalfa dalam gendongan dan berjalan secepat mungkin untuk menuju ke dalam rumah sakit.

"Tolong istri saya!" teriak Zayyan panik bukan main.

Akhirnya para tenaga medis muncul bersama Nayya, dan segera membawa Zalfa ke ruang tindakan. Mereka semua hanya bisa menunggu dengan jantung berdebar tak menentu.

"In syaa allah semua akan baik-baik aja, Yan," tutur Harini seraya menepuk pelan pundak sang putra.

Zayyan menatap Harini begitu lekat. "Zayyan takut Zalfa kenapa-kenapa, Bu."

"Lebih baik kita berdoa dan berdzikir, Yan. Jangan sibuk berprasangka buruk," saran Harini berusaha untuk menenangkan putranya.

Jika ditanya apakah dia panik, tentu saja jawabannya iya. Tapi, jika terus bergelung dengan prasangka serta ketakutan, pasti tidak akan berujung. Akan lebih baik, banyak-banyak berdoa. Memohon pertolongan serta perlindungan Allah Ta'ala.

"Minum dulu, supaya lo tenang," titah Nayya seraya menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja dia ambil di mobil, kala menyerahkan kunci mobil pada satpam agar di parkiran pada tempatnya.

Zayyan mengambilnya. "Terima kasih, Mbak Nayya."

Nayya hanya mengangguk lalu duduk berseberangan dengan Zayyan dan juga Harini.

Hatinya teriris perih, terlebih saat melihat bagaimana panik dan frustrasinya Zayyan sapanjang perjalanan. Bahkan sampai sekarang pun raut wajah Zayyan tidak ada perubahan.

Nayya cukup sadar diri, untuk tidak lagi menaruh hati. Tidak ada sedikit celah untuk masuk, dan lagi memiliki Zayyan adalah suatu ketidakmungkinan. Memang sudah sepatutnya untuk move on.

Harini menghampiri Nayya, dia duduk tepat di sebelah perempuan itu. "Nak Nayya kalau memang masih banyak kesibukan bisa pulang duluan. Maaf sudah merepotkan, dan terima kasih karena sudah mau menolong Ibu dan Zayyan."

Nayya tersenyum ramah. "Nggak, Bu, saya di sini dulu. Takutnya butuh kendaraan, jadwal saya longgar kok."

Refleks Harini pun memeluk Nayya begitu erat. "Terima kasih banyak, Nak, terima kasih," bisiknya dengan suara agak sedikit parau karena mati-matian menahan tangis.

Nayya mengelus lembut punggung Harini. "Sama-sama, Ibu. Semoga Zalfa baik-baik saja."

Harini melepaskan diri. "Aamiin."

"Zayyan pamit ke mushola dulu, Bu," katanya.

Menunggu di tempat ini hanya membuat hatinya kian gelisah tak tentu arah. Lebih baik dia bermunajat memohon pertolongan Allah, setidaknya hati dan pikiran lelaki itu sedikit bisa ditenangkan kala dekat dengan-Nya.

Harini mengangguk. "Handphone kamu harus selalu aktif, kalau ada perkembangan Ibu langsung hubungi kamu."

Zayyan tersenyum tipis lantas berlalu pergi menuju mushola.

Nayya semakin dibuat kagum dengan kepribadian Zayyan yang selalu melibatkan Allah dalam segala urusan. Bahkan, di saat kegundahan tengah melanda, yang didatangi pertama kali yakni Sang Maha Pencipta.

Zayyan terlalu sempurna untuk dirinya yang terlampau biasa dalam beragama.

"Nak Nayya? Kenapa bengong?" tanya Harini saat mendapati Nayya tidak berkedip sama sekali melihat kepergian Zayyan.

Nayya terkesiap dan dibuat gelagapan seketika. Tapi sebisa mungkin terlihat biasa saja. Jangan sampai Harini tahu tentang perasaannya yang begitu lancang menyukai suami orang.

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Sabtu, 10 Juni 2023

Nah lho, Zalfa kenapa lagi tuh?🤕🤧

Next or No?

Selepas Gulita | END √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang