بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Saling melengkapi kekurangan, dan menyempurnakan kelebihan, itulah yang dinamakan dengan pernikahan."
—🖤—
ZAYYAN mengetuk kamar Harini beberapa kali. Dengan masih terkantuk-kantuk karena baru tidur sebentar dan telah melakukan perjalanan jauh, Harini memaksakan diri untuk menghampiri sang putra.
"Apa sih, Yan? Ibu masih ngantuk berat ini," oceh Harini berusaha membuka kedua matanya.
Zayyan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia ragu dan bingung untuk menjelaskan duduk perkaranya pada sang ibu.
"Apa?"
"Ehm..., itu..., Bu..., anu..., Zalfa..., datang bulan Zayyan nggak ngerti. Bantuin Zalfa mau yah, Bu?" ungkap Zayyan terbata-bata.
"Zayyan! Zayyan! Kamu ini ada-ada aja. Nggak bisa emang bantuin istri kamu sendiri?"
"Sama Ibu aja, Zayyan nggak berani. Nggak ngerti juga, cuma bantuin Zalfa ganti baju dan sejenisnya. Kalau urusan bersihin seprei Zayyan bisa handel," bujuk Zayyan.
Harini mengikat rambutnya asal lalu mengikuti langkah sang putra menuju ke kamar.
"Gendong Zalfa ke kamar mandi coba, siapkan baju ganti sama pembalutnya juga," pinta Harini saat sudah mendapati Zalfa tengah menahan sakit di atas ranjang.
"Jangan digendong, Mas, pakai kursi roda aja. Baju Mas kotor nanti kena darah," larang Zalfa sungkan.
"Darah bisa Mas cuci," sahut Zayyan langsung menggendong Zalfa dan mendudukkannya di kloset duduk.
"Hari pertama yah? Biasa minum kiranti buat pereda nyeri?" tanya Harini.
Zalfa mengangguk malu. "Maaf yah, Bu, aku hanya bisa merepotkan Ibu."
Harini mengelus penuh sayang puncak kepala Zalfa yang masih tertutup khimar. "Kamu ini kayak sama siapa aja. Nggak usah sungkan kalau sama Ibu."
"Aku nggak enak tiap mau ke kamar mandi atau ganti pakaian selalu merepotkan Ibu."
"Ya udah kalau gitu nanti Ibu suruh Zayyan aja. Maafin anak Ibu, belum bisa jadi suami yang baik buat kamu," tutur Harini di tengah kegiatan membantu sang menantu.
"Jangan sama Mas Zayyan, aku malu, Bu."
Harini geleng-geleng kepala dan terkekeh pelan. "Dibantu sama Ibu sungkan, sama Zayyan malu. Terus yang bantu kamu siapa?"
Zalfa hanya bisa terdiam dan menunduk dalam. Dia merasa tidak berguna, yang ada malah merepotkan saja.
Harini mengangkat wajah Zalfa lembut. "Ibu tuh sayang banget sama kamu, Ibu seneng saat tahu Zayyan mau menikahi kamu. Nggak ada yang direpotkan sama sekali. Berhenti berpikiran seperti itu yah, Nak."
Zalfa mengangguk pelan dan tersenyum tipis.
"Kalau di depan suami, nggak papa auratnya terbuka. Nggak perlu pake kerudung juga, kan udah halal," katanya memberi sedikit nasihat.
"Aku masih malu, Bu."
Harini mengangguk maklum. "Ibu nggak akan maksa kamu. Sesiapnya kamu aja, semua butuh waktu. Apalagi kalian yang baru menikah dan nggak melewati proses pacaran terlebih dahulu."
"Makasih yah, Bu, udah mau ngertiin aku."
Harini mengangguk seraya tersenyum lebar. "Sudah selesai, sudah bersih, wangi, dan juga cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Gulita | END √
ДуховныеSELESAI || PART MASIH LENGKAP Akan selalu ada cahaya selepas kegelapan menyapa. Duka memang sudah menjadi kawan akrab manusia. Tak usah terlalu berfokus pada gelapnya, cukup lihat secercah cahaya yang bersinar di depan netra. Hidup tak selalu mudah...