بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tahu diri, sadar akan posisi, maka akan terwujud kedamaian hati."
—🖤—
SALAT berjamaah dengan dua makmum berada di belakangnya. Zayyan begitu khusuk mengimani, lantunan ayat suci mengalun indah dari sela bibirnya. Salat isya yang jumlahnya empat rakaat terasa singkat, padahal bacaan yang dipilih Zayyan terbilang cukup panjang.
Harini sudah kembali ke Jakarta sore tadi, dengan diantar Hartawan yang kebetulan ada pekerjaan di sana. Harini memutuskan untuk tidak lagi tinggal satu atap dengan anak dan menantunya. Sekarang tidak ada lagi kekhawatiran. Dia yakin Zalfa dan Nayya mampu bekerja sama dan mewujudukan pernikahan yang sakinah mawadah serta warrahmah.
Zalfa dan Nayya bergantian mencium tangan Zayyan. Mereka melakukan dzikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak.
"Mas cukup antar aku ke kamar dan bantu aku untuk rebahan. Setelah itu Mas bisa tidur sama Nayya," tutur Zalfa saat mereka akan keluar dari mushalla.
Zayyan mengangguk singkat. "Aku antar Zalfa dulu, kamu duluan ke kamar, Nay."
Nayya tersenyum tipis lalu mengikuti titah Zayyan. Hatinya sangat berdebar tidak tenang.
"Tidur yang nyenyak, seperti biasa sepertiga malam nanti Mas bangunkan untuk salat tahajud berjamaah," tutur Zayyan setelah merebahkan tubuh Zalfa lalu menutupinya dengan selimut.
Tak lupa dia pun mendaratkan kecupan singkat di dahi sang istri. Cukup lama sampai akhirnya dia pamit untuk menemui Nayya.
Zalfa melepas kepergian Zayyan dengan senyuman. Ikhlas, ikhlas, dia harus rida sebagaimana janjinya. Ini adalah kemauan dia, Zayyan dan Nayya hanya mengabulkan saja.
Zayyan mengetuk pintu kamar dengan jantung berdebar, tapi sebisa mungkin dia terlihat tetap tenang.
"Masuk," sahut Nayya yang saat itu menunggu Zayyan dengan perasaan resah di tepi ranjang.
Zayyan terpaku beberapa saat, terlebih melihat surai Nayya yang tergerai, sedikit pirang, serta bergelombang. Dia tidak mengira akan langsung disuguhi pemandangan seindah ini.
"Nay salat sunnah dulu yah," gumam Zayyan setelah berdehem beberapa kali untuk menetralkan suaranya.
Kening Nayya mengerut. "Salat lagi? Isya, kan udah, Yan."
Zayyan tak mampu untuk menahan tawanya, terlebih melihat ekspresi Nayya yang mendadak menggemaskan. Dia menggenggam tangan Nayya lalu berucap, "Kamu bersedia untuk menunaikan kewajiban kamu, dan memberikan hak aku, Nay?"
Nayya meneguk ludah susah payah. Udara yang semula dingin, mendadak panas bahkan sudah bisa dipastikan wajahnya sekarang sudah semerah tomat. Cukup lama sampai akhirnya sebuah anggukan Nayya berikan.
Zayyan merapikan rambut Nayya ke belakang telinga. "Kita ambil wudhu lagi yah, salat di kamar aja."
Lagi-lagi Nayya hanya mengangguk singkat.
Suara takbir Zayyan terdengar bergetar, bahkan lantunan ayat sucinya pun sedikit tersendat-sendat. Entah apa yang saat ini mengganggu pikiran lelaki itu. Yang jelas ada dua sisi yang bertolak belakang.
Dia merasa bersalah pada Zalfa, tapi jika mengacuhkan Nayya pasti akan melukai perempuan itu. Zayyan merasa tak habis pikir dengan para pria yang begitu mudah mengkhianati istrinya, padahal bagi Zayyan ini adalah hal yang teramat susah. Walaupun kondisinya sudah halal dan diridai Zalfa, tapi masih berat dalam menjalaninya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Gulita | END √
EspiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP Akan selalu ada cahaya selepas kegelapan menyapa. Duka memang sudah menjadi kawan akrab manusia. Tak usah terlalu berfokus pada gelapnya, cukup lihat secercah cahaya yang bersinar di depan netra. Hidup tak selalu mudah...