Eps. 36

1.7K 97 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Baterai kalau mati masih bisa diisi daya, tapi kalau nyawa manusia, jelas takkan pernah bisa."

—🖤—

TANGIS Zayyan pecah tak terbendung, terlebih kala melihat gundukan tanah dengan nisan bertuliskan, Zalfa Hasna di depannya. Dia mengepal kuat gundukan tanah merah tersebut.

Rasa sakitnya berkali-kali lipat dibanding saat dia tahu Zalfa tengah terbaring koma. Dada lelaki itu begitu sesak, seperti ada bongkahan batu besar yang sulit untuk dienyahkan.

Sekuat-kuatnya seorang lelaki, dia pasti akan meneteskan air mata kala ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh sang kekasih hati.

"Pulang yah, Yan, hari sudah semakin sore. Jangan memperberat langkah Zalfa," tutur Harini begitu lembut.

Dia pun merasakan hal yang serupa, tapi jika terus membiarkan diri dirundung duka, justru akan memperberat langkah sang menantu.

"Zayyan masih mau di sini, Bu," sahutnya dengan suara melirih. Dia mengelus penuh sayang nisan sang istri.

Harini membelai puncak kepala putra semata wayangnya. "Kita harus kembali ke rumah sakit, Nayya masih dirawat, Yan."

Mendengar nama Nayya, mata Zayyan langsung berkilat merah penuh amarah. "Nayya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!"

Harini menggeleng pelan. "Kamu harus ingat, mau bagaimanapun Nayya itu istri kamu, dia lagi mengandung darah daging kamu. Jangan liputi hati kamu dengan kebencian."

Zayyan bangkit lalu bergegas pergi.

Sedangkan Harini hanya mampu menghela napas, lantas mengikuti langkah sang putra setelah mengucapkan kata pamit untuk Zalfa.

"Tenangkan hati kamu, jangan mengutamakan emosi. Jangan lukai Nayya dengan kata-kata kasar kamu lagi," cegah Harini saat berhasil mencekal lengan Zayyan.

"Nayya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, Bu!"

Harini mengangguk kecil. "Ibu paham apa yang kamu rasakan sekarang, tapi Ibu nggak mau kamu bertindak gegabah dan akhirnya menyesal."

Harini menepuk lembut pundak Zayyan lantas berujar, "Kamu harus ingat, Nayya itu amanah dari Zalfa apalagi sekarang Nayya sedang mengandung darah daging kamu. Hamil itu nggak mudah, apalagi kalau sampai kamu menjebloskan Nayya ke penjara. Kamu nggak mikirin bagaimana nasib anak kamu nantinya? Jangan pakai emosi, tenangkan hati."

Zayyan berteriak frustrasi dan menjambak rambutnya kasar. Semesta seolah memperunyam keadaan, dia dihimpit pilihan sulit.

"Sekarang kita ke rumah sakit, tapi Ibu mohon jangan perlakukan Nayya seperti tadi. Luka fisik bisa hilang, tapi luka akan ucapan sulit dilupakan. Kita selesaikan semuanya secara baik-baik dengan kepala dingin," tutur Harini.

Zayyan tak banyak berkomentar, dia memilih untuk mengangguk singkat.

Pikirannya benar-benar kalut dan kacau. Maju kena mundur kena, bak buah simalakama.

Andaikan pernikahan kedua itu tidak pernah ada, mungkin Zayyan akan dengan mudah menjebloskan Nayya ke penjara.

Masalahnya tidak akan serumit ini.

—🖤—

"Kepala gue puyeng, Ki. Lo nyetirnya jangan kenceng-kenceng," pinta Nayya seraya memijat pelipisnya yang berdenyut sakit.

Selepas Gulita | END √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang