☆ 14 ☆

24.5K 2.2K 86
                                    

2k word lebih, tunjukkan yes nya kalian dengan meninggalkan jejak, please.

Don't just read, okay? 😉

Full part Afkar Aina loh ini, gak tanggung jawab bagi yang uwuphobia.

.
.
.

Natawassal bil Hubabah
Wal batuulil mustathobah
Wannabiyy tsumma shohaabah
Fa'asaa da'wah mujaabah

Aina keluar kamar dengan bersenandung shalawat karya Ustadzah Halimah Alaydrus, berisi tentang tawassul kita kepada dua wanita tercinta Nabi.

Sepasang ibu dan anak, Sayyidah Khadijah dan Sayyidah Fathimah. Dua dari empat wanita yang dirindu surga, dan kelak Aina ingin berjalan bersama para wanita dalam rombongan mulia mereka.

Aina melanjutkan sholawatnya sembari berjalan menuju garansi santriwati untuk mengambil motor. Gadis itu membawa motornya ke halaman asrama putri, memanasi mesinnya sebentar.

"Aina," panggil Afkar, ragu.

Afkar takut kalau Aina menghindarinya karena tindak gegabahnya kemarin. Namun kekhawatiran Afkar sirna saat Aina menoleh dan dia mendapati senyuman di wajah istrinya itu.

"Kenapa, Gus?"

Afkar tertegun. Berkali-kali melihat Aina, berkali-kali pula jantungnya dibuat berdegup tak berirama.

"Kenapa cantik sekali hari ini?"

Astaghfirullah, mulut Afkar memang perlu di-briefing sebelum bertemu Aina. Bisa-bisanya keceplosan seperti itu.

Ya sebenarnya tidak apa jika sudah tidak lagi rahasia. Masalahnya situasi sekarang takutnya nanti Aina malah mengira Afkar genit dan cabul.

"Gus, saya kalau denger gombalan cowok-cowok di luar sana udah biasa. Tapi masa seorang Gus Afkar juga harus ngegombal sih?"

Benar, bukan?

"Saya tidak gombal."

"Ya ya, terserah Gusnya. Saya permisi dulu."

"Ke mana?"

"Ke pasar."

"Untuk?"

"Beli jeroan sama kepala ayam."

"Saya suka kepala ayam, tapi tidak makan jeroan."

"Hah?"

"Dimasak asam manis."

"Hah?"

Aina cengo, sungguh. Ini maksud Afkar bagaimana?

"Kamu beli itu untuk masakin saya?"

"Hah?!"

Aina terperangah tak percaya, "saya beli jeroan sama kepala ayam buat bahan penelitian, Gus Afkar! Astaghfirullahal 'adhim."

"Penelitian?"

"Iya."

"Ya sudah."

"Gitu doang?" heran Aina dan Afkar mengangguk kaku. "Ampun deh, Gus ... Gus." ucap Aina geleng-geleng kepala.

"Saya permisi ya, assalamualaikum," salamnya dan langsung menjalankan motor keluar dari gerbang pesantren.

Meninggalkan Afkar yang masih berdiri di tempatnya, mendesah tak tenang. "Kamu begitu ceriwis dan ceria. Tapi kalau dengan saya kenapa harus selalu saya yang menjadi mubtada'?"

"Maksudnya mubtada' pripun, Gus?" seloroh Umar yang tiba-tiba sudah ada di samping Afkar.

Afkar melirik, "sampean mau tak kembalikan ke kelas Jurumiyyah?"

Terlanjur Yours!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang