☆ 02 ☆

32.5K 2.5K 15
                                    

Sehabis subuh, Afkar keluar dari masjid Al Firdaus. Niat hati ingin segera kembali ke ndalem, namun langkah kakinya terhenti ketika melihat pemandangan yang sudah sering terjadi di lingkungan pesantren.

Di dekat aula asrama putri sana, seorang santriwati terlihat berdiri dengan satu kaki. Sedang dua tangannya menjewer telinganya sendiri secara menyilang.

Di depannya ada dua orang ustadzah yang mengomel. "Ulya, Ulya. Ustadzah sudah tidak tahu lagi mau kasih kamu hukuman apa." ucap salah satunya.

Ustadzah lain menimpali, "Ulya, bisa tidak? Sehari ... saja kamu tidak bikin masalah, hm?"

"Ustadzah, bisa tidak? Sehari ... saja Ustadzah bikin masalah dan dihukum, hm?"

"Ulya- "

"Bisa."

Dua ustadzah yang emosinya sedang diuji oleh Ulya itu menoleh karena kedatangan Aina. Mereka memberi salam dan menunduk hormat, "Ning Aina."

Semakin menarik, Afkar semakin memfokuskan atensi. Dilihatnya gadis berhijab hijau yang baru datang sambil melipat tangan di dada itu.

"Penawaran kamu menarik, Ulya. Aku setuju."

"Maksud Ning?"

"Aku bersedia bikin ulah dan dapet hukuman, asal kamu bersedia berbuat kebaikan dan dapetin poin plus."

"Ning?"

Dua ustadzah tadi memberi gelengan kepala, bermaksud agar Aina tidak meladeni ucapan Ulya.

"Mana bisa begitu?"

"Loh, kenapa gak bisa?"

"Mana ada yang berani ngasih Ning Aina hukuman? Ning berbuat salah apapun juga Ustadzah gak ada yang berani ngasih takzir."

"Enggak dong, berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Aku janji, setiap aku bikin ulah, aku akan tanggung jawab jalanin hukuman. Gimana?"

Nada Aina terdengar sangat serius bernegosiasi dengan Ulya. Afkar yang memantau dari jauh tak habis pikir.

"Ning, masalah Ulya tanggung jawab kami. Ning Aina tidak perlu merepotkan diri sendiri." sang ustadzah masih mencoba menasehati Aina.

"Aku gak repot, Us. Gapapa, sekarang tinggal Ulya. Berani gak?" Aina menantang.

Ulya awalnya ragu, tapi ditantang dengan idenya sendiri rasanya gengsi jika menolak.

"Oke, saya pegang omongan Ning Aina."

"Deal." final Aina menjabat tangan Ulya.

🔬🔬🔬

"Udah waktunya sarapan tumben Aya belum dateng?" heran Faisal melihat kursi meja makan yang biasa Aina duduki masih kosong.

"Mbah tadi lihat Aya nyapu halaman." ucap Mbah Nyai.

"Aya nyapu, Mbah?" Faisal memastikan, Mbah Nyai mengangguk. "Mas, Aya gak kemasukan jin, kan?"

"Faisal!" Umma Nazila menggetok peci putranya dengan centong sayur. "Adek kamu kena takzir."

"Takzir, Umma?" tanya Naufal lebih waras.

"Kata Ustadzah, Aya gak ikut dzikir pagi. Habis itu lapor, minta dikasih takziran."

"Hah?"

Naufal dan Faisal sama-sama tidak percaya. Masalahnya, Aina itu tidak pernah melanggar aturan.

Kalaupun melanggar, dia pasti punya 1001 cara untuk menghindari hukuman. Kenapa sekarang malah menyerahkan diri?

Terlanjur Yours!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang