☆ 33 ☆

20.2K 1.7K 92
                                    

Kalimat sederhana pun bisa sangat bermakna ketika diucapkan tepat pada waktunya
.
.
.

Aina Radheya

.........................................................................

"Sok-sokan jadi pahlawan. Kamu sendiri sudah dua tahun menikah tidak hamil-hamil. Shofi saja sudah hamil 6 bulan. Atau jangan-jangan ... kamu mandul, Aina?"

Ucapan yang begitu menusuk, Aina tersentak. Tentu saja, wanita mana yang terima dikatai seperti itu?

"Oh, kamu kan memang tidak serius menjalani pernikahan. Egois memaksakan sekolah tinggi-tinggi. Mau jadi apa sih?"

Kedua tangan Aina mengepal di sisi tubuh, matanya berkaca-kaca. Dia melirik Afkar yang hanya diam.

"Masak tidak bisa, mengurus suami tidak bisa, jadi istri kok tidak becus."

Aina mendongakkan kepala, menarik napas panjang-panjang. Dadanya sungguh sesak. Ucapan Budhe Lail begitu lantang, mustahil jika para santriwati yang masih di sekitar tidak bisa mendengar.

Sekali lagi, Aina melirik Afkar. Suaminya itu masih hanya diam tak berkutik. Aina terkekeh, mengulas senyuman kecewa sebelum berlari pulang.

🔬🔬🔬

"Aina," Afkar menarik lengan Aina sehingga istrinya itu berhenti berjalan dan berbalik menghadapnya.

Afkar menutup pintu, memegang dua bahu Aina sembari memberinya usapan lembut.

"Kamu tau, Sayang? Dulu Abu Bakar pernah dihina, namun beliau hanya diam sehingga membuat Rasulullah tersenyum."

"Tapi ketika Abu Bakar meladeni hinaan itu, Rasulullah justru pergi. Itu karena ketika Abu Bakar hanya diam menerima hinaan, malaikat ada di sekitarnya- "

"Aku tau," sela Aina. "Aku tau, Mas. Tapi wajar gak sih kalo aku sebagai istri pengen dibela suami?"

"Aku tau Mas diem karena masih ingin menjaga kehormatan Budhe Lail, kan? Aku sebagai istri juga punya kewajiban menjaga kehormatan suami."

"Tapi gimana sama kehormatanku?" Air mata yang sudah Aina tahan sejak tadi menetes begitu saja. Wanita itu mengusapnya dengan kasar.

"Aku dikata-katain di depan banyak orang dan suamiku hanya diam seolah semuanya adalah fakta!" Dada Aina semakin sesak, air matanya jatuh tak terbendung.

"Aku bodoh karena terlambat menyadari perasaan Mas ke aku yang sebenarnya. Bahkan Budhe Lail pun bisa membacanya."

"Aina, Mas tidak pernah sekali pun memiliki pemikiran seperti yang Budhe katakan."

Aina terkekeh dalam tangisnya, mata jernihnya menatap Afkar dengan lekat.

"Kalimat itu akan sangat membuat aku bahagia ketika Mas mengucapkannya di saat yang tepat. Bukan sekarang, Mas. Udah basi."

Afkar hendak merengkuh tubuh Aina, namun Aina dengan sigap menghindar.

"Aku tidur di kamar tamu."

Dalam kisar waktu satu tahun setelah resepsi diadakan, inilah pertama kalinya Aina dan Afkar pisah ranjang.

Aina masuk ke kamar tamu, mengunci pintunya dari dalam. Menggigit bibir kuat-kuat agar isak tangisnya tak terdengar.

"Mas sekarang punya kamu. Kamu prioritas Mas. Mas tau kamu sempat ragu karena Mas yang selalu terlihat lebih peduli ke Budhe. Mas minta maaf. Mas akan berusaha tidak mengulangi itu."

Terlanjur Yours!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang