016

65 11 0
                                    


.

.

.

Death can come at any time•

Di sepanjang lorong rumah sakit yang dilalui, Nala terus berlari tidak menghiraukan orang-orang yang meneriakinya akibat tubrukan yang dia lakukan tanpa sengaja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sepanjang lorong rumah sakit yang dilalui, Nala terus berlari tidak menghiraukan orang-orang yang meneriakinya akibat tubrukan yang dia lakukan tanpa sengaja. Kerja otak Nala seakan berhenti, dia bahkan tidak bisa berpikir apapun selain melangkahkan kakinya dengan lebar-lebar.

Rasa sakit di kakinya tidak Nala hiraukan. Penampilannya jauh dari kata baik, berlari hanya dengan satu sandal dan juga rambut yang acak-acakan tertiup angin karena tadi dia mengendarai motornya untuk kesini setelah mendapatkan panggilan yang membuat kerja jantungnya seakan dipaksa berhenti.

Dengan nafas yang tidak beraturan, Nala berhenti sepuluh meter di depan sebuah ruangan yang di luarnya terdapat dua orang berseragam polisi sedang berbincang dengan seorang dokter. Nala menatap mereka dengan pandangan yang begitu rumit. Tapi otaknya benar-benar kosong, sulit mencerna situasi yang tengah terjadi.

Telinganya berdenging dengan hebat, bahkan ketika dua polisi itu mendekat padanya Nala tidak bisa mendengarkan apa kata mereka. Telinganya seolah tersumpal sesuatu yang memaksanya agar tidak mendengar perkataan-perkataan itu.

"Dek." Nala tersadar dan mengerjapkan matanya perlahan ketika satu polisi itu memegang tangannya, masih dengan pandangannya yang kosong Nala balik menatapnya.

"Di sana kan?" Nala menunjuk ruangan yang ada di depannya dengan nyalang.

"Iya."

Saat Nala masuk pemandangan di depannya seketika benar-benar membuat aliran darah Nala seakan berhenti. Jantungnya berdetak semakin kencang, dadanya terasa sesak, tubuhnya pun ikut gemetar hebat. Dengan langkah terseok dia mendekati brankar yang di mana diatasnya terdapat tubuh seseorang yang sudah di tutupi oleh sebuah kain berwarna putih. Tidak, yang ada dipikirannya tidak benar-benar terjadi, Nala yakin itu.

Dengan tubuh yang masih gemetar, Nala mengulurkan tangannya untuk membuka kain putih itu, terhenti sejenak dengan menggigit bibirnya, Nala membuang wajah sebentar lalu mencoba fokus kembali.

Terdiam sejenak sebelum tangis Nala pecah ketika mendapati tubuh yang sudah terbujur kaku itu adalah kakaknya. Sana dengan wajahnya yang begitu pucat, seolah tidak ada lagi aliran darah di tubuhnya. Tangisan pilu Nala terdengar di ruangan itu, bahkan kedua polisi di belakangnya juga ikut meneteskan air mata melihat seorang adik yang kehilangan kakaknya dengan cara yang tidak baik.

"ENGGAK, KAK BANGUN!" jerit Nala tanpa berani menyentuh tubuh Sana, kedua tangannya mengepal kuat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangannya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang