"Kau yakin tidak mau kuantar?"
"Yakin. Lagipula nanti kau bosan menunggu disana"
"Aku pergi ya. Terimakasih sudah memperbolehkan aku menginap"
Seokjin tersenyum dan melambaikan tangannya lalu berbalik."Jimin benar....Seokjin tampan sekali..."
Saat itu pula Namjoon merasa kehilangan.
Sosok itu perlahan menjauh dan hilang di balik pintu lift.
"Seokjinnie...." Ia menunduk sedih.
"Ah...bodoh.....kenapa aku tidak meminta nomor ponsel barunya"
•
•
•
Upacara kremasi itu selesai setelah hari mulai gelap. Seokjin dan Jungkook merasa lega akhirnya mereka bisa beristirahat.
"Hyung....bagaimana kemarin?"
"Bagaimana apanya?" Seokjin menoleh bingung pada adiknya yang sedang menyetir.
"Joon hyung...."
"Aku menginap di apartemennya. Kamarku sudah tidak layak huni"
"Yyaahhhhh! Tidak separah itu kan hyung..." Jungkook terbahak.
"Lalu...masa malam ini hyung akan menginap lagi?"
"Tidaklahhhh...aku menginap di hotel kok"
"Namjoon menjual rumahnya kau tahu Kookie?"
Jungkook diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Tahu.."
Seokjin sontak menengok.
"Kenapa kau tidak memberi tahu aku?"
"Untuk apa?" Jawabnya datar.
Seokjin tidak menjawab. Ia kembali menatap jalan di depannya.
"Joon hyung sangat terpukul dengan kepergianmu hyung"
"Ia mengejarmu ke bandara....tapi ia terlambat hanya beberapa menit saja"
"Hobi hyung tahu itu...ia orang yang menenangkan Joon hyung waktu ia kehilanganmu hari itu"
"Kenapa tidak ada yang memberi tahu aku?" Seokjin menunduk.
"Untuk apa hyung?" Jungkook mendengus.
"Hyung memutuskan untuk tinggal disana selamanya"
"Kookie....Namjoon yang memutuskan aku"
"Hyung tidak berusaha mendapatkannya kembali. Hyung selalu membalas kemarahan Joon hyung dengan kemarahan lagi"
DEG
"Iyakah?"
"Sekeras kepala itukah aku?" Ingatannya kembali pada pertengkaran-pertengkaran mereka dulu.
"Apa yang harus kulakukan Kookieya?" Ia melunak.
Jungkook hanya menoleh sebentar dan kembali fokus pada jalan raya.
Mobil itu kembali hening hingga mereka tiba di apartemen Jungkook.
"Hati-hati hyung..." Jungkook melambaikan tangannya.
Seokjin tersenyum dan melajukan mobilnya menuju hotel yang telah dipesannya.
"Haruskah aku meneleponnya sekarang dan meminta maaf?"
"Namjoon pasti lelah dengan permintaan maafku" Seokjin menyeringai pahit dalam lamunannya.
"Dasar bodoh....aku tidak menyimpan nomor ponselnya"
Mobil itu berjalan pelan melalui sebuah cafe yang tadinya adalah toko bunga yang ia suka.
Eksterior maupun interiornya telah berubah menjadi lebih modern.
Ia pun menepi di seberang cafe yang masih buka itu dan memperhatikannya dari dalam mobilnya yang masih tertutup.
Toko sederhana dengan bermacam kenangan.
Segarnya embun di atas kelopak bunga dan daun-daun yang selalu ia lihat setiap pagi sebelum berangkat kerja.
Jimin yang selalu berada di balik counter untuk melayani pelanggan sambil membungkus karangan bunga.
Suara-suara gaduh saat kakak beradik itu bercanda.
Namjoon yang dengan telaten merangkai tangkai-tangkai bunga itu menjadi sebuah karya yang indah.
Rumah di belakangnya yang pernah menjadi saksi bisu perjumpaan dan perpisahan mereka.
Seokjin menunduk sedih.
"Taehyungie...sudah tidur belum?"
"Jinnieyaaaaaa....bagaimana keadaanmu?"
"Kenapa baru mengabari sekarang?"
"Apakah baru selesai?"
Taehyung yang langsung mengangkat panggilan itu menghujaninya dengan banyak pertanyaan.
"Yyaahhhhh....sabaarrrr" Seokjin tertawa mendengar suara panik di seberang sana.
"Aku bertemu Namjoon Taehyungie...." Suaranya berubah lembut.
"Aaahhhhhh....aku tidak usah khawatir kalau begitu" Ia terkekeh.
"Apa yang harus kulakukan Tae...aku bingung"
"Bagaimana reaksi Namjoon waktu bertemu denganmu?"
"Dingin kah?""Sebaliknya....ia masih hangat seperti dulu..." Seokjin tersenyum mengingat kejadian kemarin.
"Jinnieya..."
"Sebelum kontrakmu diperpanjang....buatlah keputusan""Jangan keras kepala Jinnie...."
"Jika kau masih mencintainya...kejarlah"