Chapter 24

159 21 2
                                    

Saat meluncur melintasi jalan raya yang padat, Xiao Zhan merasakan bahwa roda-roda sejarah tengah berputar di bawah dirinya. Dia merasa dihadapkan pada sebuah layar besar yang memutar film dokumenter, di mana aktor utama film itu adalah dirinya, dengan peran busuk yang menantang.

Seorang penghibur.

Gedung-gedung mentereng, taman-taman dengan air mancur eksotis, kafe, restoran, kawasan The Bund yang memukau, dia tak yakin masih ingin melihatnya untuk saat ini. Dia tak mau melihat pemandangan tersebut dari sudut pandang nostalgia. Rasanya sangat menyakitkan.

Xiao Zhan mengemudi mobil jauh ke arah timur menuju perbatasan Shanghai dengan kota kanal Suzhou.

Empat puluh menit kemudian dia tiba di kawasan pemukiman Lu Zhi yang lebih tenang, penuh rasa peduli, dan tidak dibentengi dengan dinding-dinding harga diri yang terkutuk.

Hari sudah gelap saat Xiao Zhan menyeret langkahnya memasuki sebuah guest house pertama yang bisa ia temukan. Tak ingin pergi lebih jauh lagi, dia merasa jiwa dan raganya lelah. Terasing dan terlempar ke dunia lain yang gelap.

Pengalaman itu kembali lagi. Hari-hari di masa lalu di mana ia terlempar dari rumah ayahnya karena keangkuhan masing-masing. Dia yang masih sangat muda dan labil waktu itu, tidak bisa melepaskan kehidupan yang pernah dikecapnya selama menjadi putra tunggal yang dimanjakan.

Tak bisa melepaskan gaya hidup bersenang-senang, menyeretnya memasuki dunia gemerlap yang kotor.

Bagaimana bisa hal seperti itu bisa terulang kembali sekarang?

Xiao Zhan memasuki kamar yang ditunjukkan oleh pelayan guest house, kamar yang cukup bagus dan luas untuk ditinggali seorang diri.

“Terima kasih,” Xiao Zhan berkata pada si pelayan, yang langsung mundur dengan sopan.

“Restoran ada di bagian belakang taman. Anda bisa menelepon kami untuk layanan makan malam atau sarapan di dalam kamar.”

Xiao Zhan mengangguk, tersenyum tipis.

Dia segera menutup pintu begitu si pelayan keluar. Menyisakan secercah keheningan yang menyayat. Xiao Zhan berjalan melintasi kamar, membuka jendela yang menghadap ke kanal di kejauhan dengan pohon-pohon yang pucuk-pucuknya diselimuti salju putih kebiruan.

Suasana malam di musim dingin yang dingin dan sepi, membawanya kembali pada ribuan kisah yang menggetarkan.

*****

Di mansion Tuan Han, suara derai gelas pecah dan benda-benda keras yang berjatuhan menggema.

“Maafkan saya, Tuan.” Seorang pelayan mengkerut ketakutan di kaki meja.

“Pukul saya .... ” Matanya terfokus ke lantai.

Tuan Han, yang dalam keadaan mabuk berat gara-gara wiski, melempar botol minuman itu sembarangan.

“Berani-beraninya kau!” Dia terduduk limbung di kursi.

“Menghidangkan kari kambing, kau tahu aku benci aromanya. Pelayan tolol!” Dia komat-kamit menumpahkan kemarahan atas kesalahan kecil yang dianggapnya sebagai pelanggaran yang melampaui batas.

Gelora amarah yang sudah beberapa hari terakhir semakin terasa akrab dalam diri flamboyan tua itu, membuatnya melampiaskan kemarahan pada semua pelayan di rumahnya.

“Dasar kotor! Munafik! Kau harus dihukum!” Dia menceracau, tapi tatapannya tidak tertuju pada si pelayan.

“Anda benar,” si pelayan terisak. “Tugas Anda adalah untuk mendisiplinkan saya.”

Yangyang datang menyerbu ke ruang makan karena mendengar kegaduhan dan isakan. Tuan Han telah melepas sandal rumahnya dan melemparkan ke arah kepala si pelayan yang duduk di lantai.

𝐄𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐧 𝐒𝐡𝐚𝐧𝐠𝐡𝐚𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang