"Kau datang padaku membawa dirimu, hanya dirimu."
•~•~•
Selembar kertas putih hasil ujian akhir menunjukkan nilai 8 dari 10, Fazza menatap hasil belajarnya selama semester ini di kelas.
"Aku 9 lagi, Asla bay! (Tuan Asla). Sudah kubilang dalam semester ini aku akan lebih baik darimu," suara girang yang setahun ini sering terdengar oleh Fazza tampak lebih bahagia lagi.
Gadis itu memasukkan hasil ujian ke dalam tas kemudian lekas berdiri.
"Ayo Asla bay, kelas sudah selesai hari ini."
Yang diajak berbicara masih bergeming cukup lama. Padahal ini pelajaran sejarah yang dia cukup menguasai, lalu Fazza menoleh saat namanya dipanggil lagi oleh gadis itu.
Gadis itu benar-benar akan berada di atas Fazza kalau begini terus, padahal tanpa belajarpun biasanya Fazza selalu dapat nilai tinggi.
"Kau duluan saja."
"Apakah Asla bay marah kepadaku?"
"Pada diriku sendiri."
Iya, dia merasa sudah menyepelekan sesuatu untuk saat ini dan kesalnya seperti minta ampun, merasa teledor dan tidak waspada sama sekali sampai akhirnya seperti ini.
Gadis itu mengalihkan perhatiannya pada jendela kelas yang mengarah ke salah satu taman di kampus mereka, lalu mendekati dan melihat daun-daun coklat berjatuhan dari ranting pohon.
"Ayo keluar Asla bay! Musim gugur sudah dimulai, sudah dimulai!" Dia kembali ke kursi Fazza dan berseru.
Fazza meskipun dengan sedikit enggan ikut berdiri dan berjalan pelan mengikutinya yang terlihat sangat bersemangat, --sebenarnya dia memang selalu bersemangat.
Dia menyapa hangat orang-orang yang berpapasan dengannya dan mereka membalas tak kalah ramah karena mungkin sebagian dari mereka sudah mengenal gadis itu, yang selalu mendampingi putra penyair terkenal mereka Musa Gazali, Fazza.
Meskipun sebenarnya banyak yang bersedia menjadi temannya, dia memilih selalu bersama Fazza karena dengan bangga dirinya memperkenalkan diri sebagai asisten Fazza.
Fazza menatap punggung gadis itu yang melambaikan tangan pada teman-teman yang dikenalnya sepanjang lorong kampus, rambut coklat tua yang dikucir seadanya dengan tas ransel dan celana jeans yang mungkin sebenarnya itu milik ayahnya.
"Aku memiliki buku khusus dan biasanya aku menyimpan daun musim gugur di sana pada setiap lembarnya. Ku namakan kitab angin. Sebenarnya aku punya empat buku di setiap musimnya," Gadis itu bercerita sambil memelankan langkah untuk sejajar dengan Fazza.
"Aku tahu." Sahut Fazza yang kini mereka berjalan beriringan.
Fazza tahu, sebelumnya ada buku musim semi yang dinamai kitab mekar berisi berbagai warna dan macam bunga di musim semi, lalu kitab beku untuk musim dingin yang berisi potret salju dan beberapa ranting. Fazza hanya belum mengetahui yang satunya untuk musim panas. Entahlah, Mahi tidak pernah bercerita atau sebentar lagi anak itu pasti cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
F A Z Z A: Sekata (End)
Подростковая литератураSeri kedua dari cerita pertama: F A Z Z A "Kau bilang akan kembali saat waktunya tiba, Fazza." Kata Amaiya bernada pasrah, namun masih terdapat harapan walaupun kini terasa kecil sekali. "Ini bukan waktunya." Singkatnya. "Lalu kapan?" Amaiya tahu s...