17. Perjalanan Menyenangkan

58 6 5
                                    

Hal yang paling sulit bagi Amaiya sekarang adalah memberikan sebuah kepercayaan. Sejak dulu baginya kepercayaan dan ketulusan adalah dua hal yang paling penting dalam sebuah hubungan.

Tidak akan mudah Amaiya kembali memberikan sebuah kepercayaan, apalagi kepada seseorang yang mengikis hal tersebut. Fazza.

Malam ini, Amaiya merasa marah atas dirinya sendiri. Kenapa rasanya semua hal yang diucapkan Fazza, tatapannya, bagaimana tenang menghadapi sifat Amaiya terasa sangat nyata.

Kenapa dengan mudah Fazza meluluh lantahkan pendirian hanya dalam waktu sehari?

"Jangan mudah memaafkan hanya untuk kemudian kecewa lagi." gumam Amaiya.

Amaiya membawa surat-surat Fazza dulu, pergi ke teras. Merenung. Ia harus segera melenyapkan rasa luluh ini. Terlalu mengikuti perasaan itu tidak baik.

Tempat sampah kering untuk membuang daun-daun jatuh di sekitar halaman di pekarangan terbuka, belum dibuang. Mungkin besok. Amaiya sebelum membuang semua kertas itu menyobeknya menjadi kertas-kertas kecil dan meletakkannya di sampah.

Matanya menatap nanar, menguatkan untuk melanjutkan hidup, tidak menggantungkan kebahagiaan pada sesuatupun.

Amaiya akan mencari kebahagiaan baru dan itu bukan pada seseorang, apalagi orang lama.

•~•~•

"Hari ini cuacanya cerah sekali, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hari ini cuacanya cerah sekali, ya." Bilal berkomentar sambil terus menaiki satu persatu anak tangga.

"Tepat sekali. Maka senja hari ini pasti terlihat sempurna." Amaiya mengiyakan, ia berjalan di depan Bilal.

Hari ini sepakat Amaiya akan mengajak Bilal melihat sunset terbaik Jogja sesuai dengan janjinya, seperti saran nenek, Amaiya mengajak Bilal ke Puncak Suroloyo di pegunungan Menoreh. Perjalanan dari rumah nenek hampir memakan waktu dua jam. Namun Bilal sudah menyewa mobil jeep hari ini, bahkan saking semangatnya dia memakai baju batik yang waktu itu dibeli dari toko oleh-oleh.

"Kau tidak apa berjalan sejauh ini? Bukannya kemarin kau sakit?" tanya Amaiya sambil mengelap peluh keringat yang membasahi, menaiki ratusan anak tangga tidaklah mudah.

"Kau mengejekku, ya? Aku ini pria sejati. Hanya gara-gara demam saja masa sampai tidak kuat mendaki?" jawab Bilal membela harga dirinya.

Amaiya menoleh ke belakang, mengerutkan alis serius. Tapi menurut Bilal dia memasang wajah menyebalkan.

"Aku tanya baik-baik ya, Tuan Pria Sejati. Perjalanan ini masih panjang, kita harus melewati tiga gardu pandang untuk sampai ke puncak," peringat Amaiya, lalu kembali lanjut menapaki anak tangga, "bisa saja kau pingsan di tengah jalan."

"Enak saja!" Bilal melangkahkan kaki lebih cepat, kini menyalip Amaiya di belakang.

Gadis itu hanya menggeleng-geleng. Pria sejati dari mana? Diejek begitu saja sudah marah. Dasar.

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang