15. Daylight

39 6 4
                                    

Rintik hujan yang deras dan berisik, sore tanpa senja dan angin berhembus kencang membawa dedaunan gugur. Daun-daun seakan menari dengan kedatangan hujan dan memberikan warna paling cerah yang mereka punya.

Aroma hujan ...

Mungkin di luar berisik, tetapi,

Dalam ruang tamu berukuran sedang dan lantai kayu suasana tampak senyap dan dingin. Amaiya dengan tatapan sengitnya, sedang Fazza membalas dengan menatap tenang dan yakin, sementara Bilal berpikir kapan hujan akan berhenti. Masalahnya dia tadi menjemur pakaian di balkon hotel. Pasti sudah basah lagi sekarang.

Tok... tok... tok tok tok....

"So bakso!"

Pak Met si penjual bakso langganan di daerah ini tengah melewati rumah nenek dengan gerobaknya, beliau memukul kayu dengan semangat.

Agaknya Pak Met adalah suara yang memecah keheningan antara Amaiya, Bilal, dan juga Fazza. Mereka bertiga berpaling ke luar melihat Pak Met berhenti di depan, mungkin berteduh.

Mereka duduk di ruang tamu tanpa mengucap sepatah kata, sampai nenek tiba membawa tiga cangkir secang panas serta ubi ungu rebus.

"Nak Fazza nggak pakai gula, 'kan?"

Amaiya menyeringai, nenek bahkan ingat dan masih mengkhususkan minuman yang dibuatnya untuk lelaki itu.

"Nek, tidak usah repot-repot."

"Kan nenek wis bilang, kalau ada tamu ya dijamu. Ora diam saja kayak begitu." Amaiya ingat pagi tadi nenek juga mengeluh soal ini. Dia membuang napas malas.

"Terima kasih, nek." simpul Fazza, "padahal nenek tadi sudah buatkan. Jadi merepotkan."

"Memang."

"Heh," nenek memperingatkan Amaiya yang ketus itu.

"Gapopo, le. Lagian mau hujan nenek sekalian buatin buat Nak Bilal sama Amaiya." terang nenek tersenyum kepada Bilal juga.

Kedua makhluk dari Turki itu sama-sama membalas senyum nenek, sedangkan Amaiya bersedekap dada masih tidak setuju nenek mempersilahkan Fazza masuk. Maksudnya, sudah jelas kini mereka sudah tidak bersama! Cara berpisah mereka juga tidak dengan baik. Bagaimana bisa Amaiya pura-pura tidak terjadi apapun?

"Ada Pak Met, kalian pasti belum makan siang, 'kan?"

Fazza menggeleng pelan dan sopan.

"Nenek pesankan, ya."

Malah nenek mempersilahkan Fazza masuk menikmati secang dan bakso? Yang benar saja! Dia semakin frustasi dibuatnya!

Lihat wajahnya yang datang tanpa rasa bersalah itu, mengesalkan sekali.

"Kau ingin bicara?" interupsi Fazza tahu banyak yang disembunyikan lewat mata Amaiya. "Sampaikan saja."

Matanya kembali berkaca-kaca karena semua ingatan di Konya berputar kembali. Tega sekali Fazza melakukan semua itu.

Amaiya berpaling, bersuara di hadapan Fazza? Bahkan untuk melihatnya Amaiya sudah tidak sanggup.

Tanpa mengindahkan ucapan Fazza dia berdiri dan menyusul nenek begitu saja di depan yang tengah memesankan tiga bakso untuk mereka. Amaiya datang dan memayungi nenek.

Tinggal mereka berdua.

Fazza melirik Bilal, "bagaimana kau mengenalnya?"

"Kenapa kau mau tahu?" Bilal menoleh setelah meneguk secang, rasanya kini tubuhnya lebih hangat.

"Sejak kapan?"

"Aku tidak akan memberitahu."

"Kau mengikutinya sampai sini?"

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang