19. Bilal Effect (1)

48 7 6
                                    

Apakah ada hal yang memang tidak harus diluapkan apapun keadaan? Apakah ada hal yang memang harus dipendam bagaimanapun rasa sakitnya?

Bagaimana jika diluapkan maupun dipendam, sesuatu itu tetap menyakitkan?

Lalu apa yang harus dilakukan?

Dengan dalih dewasa keadaan memaksa untuk tetap bertahan bagaimanapun keadaannya, melewati dengan kepedihan luar biasa. Jika menyerah, lalu mau apa?

Sesak sekali... sesak.

Kesal sekali... kesal.

"Untukmu," Bilal menyodorkan minuman kaleng dan duduk di samping Amaiya.

Mereka berempat berhenti di sebuah minimarket pinggir jalan sekedar beristirahat.

Cuaca memang panas, tidak henti-henti angin berhembus. Minimarket ini berdiri berdiri dekat jalan yang sudah mulai menanjak khas jalanan pegunungan, naik turun.

"Mulai lagi, wajah murung itu." gerutu Bilal membuang napas pasrah, membukakan bungkus roti untuk Amaiya.

"Aku tidak mau makan."

"Masih satu jam lagi perjalanan." tekan Bilal.

"Eh, Ya. Udah jangan cemberut gitu, yuk makan sama aku," Tita duduk di sisi lain, menjadikan posisi Amaiya di tengah antara Tita dan Bilal.

"Aku beli donat sama soda kesukaanmu. Bilal go sit down with Fazza. This is for girls only." Tita bicara dengan logat medhoknya.

"Make sure she eat well." Bilal akhirnya beranjak setelah disahuti oke oleh Tita.

Bilal menghampiri Fazza, duduk menjaga jarak, mereka bahkan tidak bicara sepatah katapun.

"Hm, kalau dilihat-lihat Bilal perhatian banget sama kamu, Ya. Caranya nenangin kamu, mastiin kamu makan, bahkan dia langsung gas lho waktu kamu telpon tadi," bisik Tita, Amaiya menamati gerak gerik Bilal yang siaga dalam situasi ini.

"Eh, tapi Fazza juga termasuk effort nyusul kamu sampe di Jogja. Maksudku, niatnya kuat buat minta maaf sama kamu. Kalau menurutku sih dia emang bener-bener tulus sama kamu."

Ganti matanya tertuju pada Fazza, melintasi awan untuk sampai kepadanya seorang. Untuk meminta maaf dan jujur bahwa ia masih suka pada Amaiya.

"Walaupun sama-sama orang Turki lihat en kaya orang asing aja ngga saling sapa sejak tadi." lanjut Tita masih berkomentar.

Lagi-lagi Amaiya kepikiran, apakah dia penyebab Fazza dan Bilal menolak akur satu sama lain? Bukannya kepedean, namun Amaiya tahu Fazza tidak menyukai Bilal karena dekat dengannya. Hal ini membuatnya merasa lebih bersalah.

Donat kini tidak terasa manis. Namun mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa mengunyah dan menelannya.

•~•~•

Tidak perlu bertanya bagaimana Fazza, ia mengakui cemburu. Namun biarkan Amaiya tenang dahulu, emosinya bergejolak sejak pagi tadi.

Apa yang bisa ia lakukan untuk Amaiya sekarang? Ia hanya bisa memberikan dia waktu. Jarak. Biarkan pikirannya berangsur tenang terlebih dahulu.

"Kamu nggak mau bilang apa gitu kek, ke Amaiya?" Tita bertanya.

Mereka kembali berhenti untuk mengisi angin ban mobil.

"Apa Amaiya pernah bercerita bagaimana dia bisa mengenalnya?"

Fazza dan Tita memperhatikan Bilal dan Amaiya yang tengah berbincang dari sana.

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang