14. Di Bawah Langit Kelabu

34 6 4
                                    

Nenek membawa nampan berisi secangkir teh dengan bibir menyungging senyum lebar ke ruang tamu.

"Jangan repot-repot, nek." Amaiya melirik nenek tidak enak.

"Kamu udah tahu ada tamu nggak dibikinin apa-apa. Gaenak dilihatnya." kata nenek memberikan senyum lagi untuk tamunya.

"Dia tidak lama di sini." gumam Amaiya kemudian melirik Bilal yang tidak mengerti apa-apa. Lelaki itu hanya menerima secangkir teh sambil tersenyum sopan.

Amaiya menghela napas, Tita menceritakan semuanya kemarin dan mendengarnya membuat nenek cepat setuju dengan usulan Tita. Sejak pagi tadi nenek menunggu Bilal datang dan menyuruh Amaiya berdandan yang sepantasnya remaja dua puluh tahun.

Rambut panjang Amaiya diubah menjadi bergelombang serta dibiarkan tergerai, kalau kata Tita shining splendid karena rambut Amaiya begitu lembut berkilau dan tampak cocok menjadi bintang iklan shampo. Dia berdandan tipis tidak seperti biasanya. Semua juga berkat Tita. Tangannya berbakat merias sejak dulu.

"Jangan berlarut dalam kesedihan, nduk. Kehidupan terus berjalan. Sudah waktunya kamu bangkit." papar nenek melihat Amaiya masih terlihat keberatan.

Amaiya menatap kedua mata nenek. Nenek mengatakan itu dengan lugas, meski matanya masih tampak sembab, meski malam-malam Amaiya mendengar nenek terisak dalam diam mendengarkan lagu kesukaan kakek di radio, meski tahu nenek menatap foto kakek setelah berdoa.

"Nggih, nek." suara Amaiya patuh.

Apakah setelah semua ini ia akan membebani neneknya dengan sikapnya yang lemah dan putus asa ini? Merepotkan saja.

Belum lagi kenyataan bahwa ..

Amaiya menghela napas,

Fazza juga tidak lagi dengannya. Amaiya menceritakan semua pada nenek setibanya di Jogja. Pasti orang tuanya dan nenek kecewa namun mereka tidak marah. Mereka hanya melakukan satu hal. Menguatkan Amaiya.

Menguatkan Amaiya.

Amaiya sedikit berkaca-kaca mengenangnya, mereka diberi ujian yang lebih berat dan siapa yang menguatkan mereka?

Gadis itu menarik napas setelah berpikir panjang. Ia belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tua, nenek bahkan almarhum kakek. Apakah dia mau menjadi beban dengan murung terus seperti ini?

Setidaknya, melihat Amaiya makan dengan baik, tidur teratur, tertawa, dan menikmati hari-harinya sudah memberikan kelegaan nenek dan orang tuanya.

"Are you ok?"

Pertanyaan Bilal menyadarkan lamunan Amaiya, Bilal seperti meneliti apa yang terjadi sekarang. Nenek sudah pergi dan gadis itu bergeming cukup lama, berkaca-kaca lagi.

"Apa yang dikatakan nenekmu tadi?"

"Dia menyuruhku bersenang-senang." sahut Amaiya meneguk air mineral di depannya merasa tenggorokannya kering.

Bilal tidak menyahut, ikut mengambil menuman di meja -teh yang disediakan tadi- dan suasana menjadi hening di sana. Hening yang cukup lama.

"Kita mau pergi kemana?" itu ucapan Bilal setelahnya.

"Ada museum terkenal di dekat sini, namanya Museum Ullen Sentalu. Kita hanya butuh waktu lima belas menit naik angkutan umum."

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang