Kebisingan bandara terdengar suara yang teredam di telingan Amaiya, dirinya seperti di sebuah ruangan kaca terpisah dari keramaian. Rasanya senyap dan sepi.
Dengan membawa tas hitam yang ia taruh di sampingnya, Amaiya duduk sendirian menghadap dinding kaca memperlihatkan lapangan lepas landas dengan perasaan sesak dan hampa. Mungkin baru sepulih menit duduk, namun rasanya sudah begitu lama menunggu.
Amaiya ingin cepat pulang.
"Sudah, nek. Akan kuantar ini lusa."
"Tapi kamu baru pulang. Tunggu sampai empat puluh hari aja."
Teringat peristiwa semalam setelah Amaiya tiba, malam tanpa lampu dan hanya ditemani lilin di ruang tengah. Amaiya dan nenek bercengkrama berdua.
"Aku tidak ingin ada tanggungan apapun, nek. Amanah disampaikan lebih cepat lebih baik,"
Amaiya sebenarnya sudah tidak ingin kembali ke Konya. Keadaan sudah berubah di sana, pun perasaannya.
Hanya saja mungkin ini adalah keinginan terakhir kakek untuk mengantarkan surat kepada Musa. Tidak mungkin Amaiya akan menolaknya.
Hatinya kembali terenyuh mengingat senyuman kakek di wajah yang teduh itu, rambut, janggut, dan kumis yang telah memutih juga perawakan yang sedang.
Selama yang Amaiya tahu, kakek adalah orang dengan pola hidup yang sehat, pikiran kakek selalu jernih dan tidak mengedepankan duniawi. Beliau bersahaja dan sederhana.
Kakek seperti lautan yang di dalamnya menyimpan segala macam pengetahuan dan pengalaman.
"Memang kakek lebih layak tinggal di surga daripada dunia yang fana ini." tukas Amaiya memandangi lilin di depannya. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Yowis, tapi kamu kesana sama ayah, ya. Biar ada yang jagain."
Amaiya menggeleng cepat, bisa saja ayah kemudian ingin bertemu Musa gazali bahkan Fazza.
"Tidak perlu, nek. Ayah dan Mama harus menemui banyak pelayat beberapa hari kedepan."
Nenek terlihat kembali menunduk.
"Kakek sebenernya pengen ikut kamu ke Turki waktu itu. Tapi akhir-akhir ini kondisinya melemah. Dokter menyarankan untuk banyak istirahat dan beraktivitas ringan,"
Kini Amaiya mengerti mengapa kakek lebih sering jalan pagi dan mempekerjakan orang untuk mengerjakan segala rutinitas beratnya.
"Dulu dia senang sekali tahu kamu mau ketemu Musa Gazali, waktu ketemu Nak Fazza kakekmu pernah bilang ke nenek," terlihat senyum tipis mengenangnya, "kalau kakek bakalan seneng kalau dapat mantu orang Turki."
"Nek," gadis itu segera menyela sambil merangkul kedua bahu nenek. "Sebaiknya nenek tidur."
"Jaga diri di sana." Nenek tersenyum menguatkan cucu satu-satunya itu yang kini tak banyak bicara, meskipun begitu Amaiya tahu kedua mata nenek menunjukkan rasa rapuh yang dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
F A Z Z A: Sekata (End)
Novela JuvenilSeri kedua dari cerita pertama: F A Z Z A "Kau bilang akan kembali saat waktunya tiba, Fazza." Kata Amaiya bernada pasrah, namun masih terdapat harapan walaupun kini terasa kecil sekali. "Ini bukan waktunya." Singkatnya. "Lalu kapan?" Amaiya tahu s...