20. Bilal Effect (2)

20 6 2
                                    

"Umurku sepuluh tahun ketika anne meninggalkan rumah,"

Angin malam menyapu wajah Bilal yang memandang jauh ke pemandangan lampu-lampu kota Jogja, mulai membicarakan peristiwa yang tidak pernah ia lupakan sampai kapanpun.

"Dia pergi saat salju pertama turun..."

Amaiya dapat merasakan perasaan menyakitkan Bilal lewat tatapan matanya.

"Baba tidak menjawab saat kutanya mengapa anne pergi, orang-orang bertanya, aku ditertawakan di sekolah."

"Untuk makan kami hanya punya dua roti, tidak ada selimut tebal untuk musim dingin dan tidak ada kata bersenang-senang saat musim panas. Memang benar kata orang kalau uang bukan segalanya tetapi segalanya butuh uang,."

Bilal mengingat bagaimana perjuangan babanya dulu, kegigihan dan kerja keras itu disaksikan oleh mata kepala Bilal sendiri. Bayangan peluh keringat dan tekad pantang menyerah masih tergambar jelas.

"Aku sering bolos sekolah untuk melampiaskan perasaan marah dan kecewa. Pada awalnya baba sering memintaku untuk membantu namun aku sengaja membandel, entahlah. Hanya ingin cari gara-gara."

Bilal mengendikan bahu, Amaiya terus mendengarkan.

"Tapi senakal apapun, baba tidak pernah kasar padaku. Dia justru marah ketika aku melewatkan sarapan atau mengomel saat aku demam. Lambat laun kusadari baba-lah yang satu-satunya berada di sisiku. Yang menyiapkan sarapan di pagi buta dan pergi ke pasar dengan keyakinan penuh bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang berjuang. Suatu saat akhirnya aku mengikuti baba seharian di pasar, bersembunyi di balik kios kosong."

"Kulihat orang yang menawar dengan harga yang bahkan membuatku terkejut, namun baba bersedia menjualnya. Baba memang ramah kepada semua orang, tapi rasa pilu tidak bisa disembunyikan dari sorot matanya,"

Keheningan meredam kepahitan Bilal, semenjak Bilal mengikuti kejadian di pasar waktu itu. Ia sadar lalu memutuskan untuk rajin sekolah, sepulangnya ia membantu baba di pasar.

"Baba sudah melewati banyak hal yang menyakitkan, aku tidak mau lagi menambah bebannya."

Ranting dan daun-daun pohon pinus bergemerisik menari ditiup angin, cahaya bulan sempurna di atas langit memberikan cahaya keremangan yang sendu.

"Hidup memang penuh dengan kejutan, satu pagi yang hening, anne tiba-tiba datang kembali ke rumah. Umurku tujuh belas tahun, setelah sekian lama aku berdamai dengan luka tetap saja kedatangan anne masih menyisakan jelak dalam benak."

Bilal menoleh mendapati Amaiya, gadis itu tidak membuka mulut sejak tadi. Hanya mendengarkan.

"Baba memaafkan anne. Setelah tujuh tahun aku menyaksikan jatuh bangun baba membangun kios, dihina, ditipu, direndahkan, dan diolok-olok masyarakat karena istri penjual manisan itu kabur meninggalkan suami dan anak."

Namun sepersekian detik mata itu berubah sayu. Menghentikan ceritanya untuk beberapa saat untuk mengatur napas, untuk menata perasaan.

"Anne tinggal dengan kami lagi, ia jadi istri yang lebih baik dan berusaha menjadi sosok ibu untukku. Tapi hatiku ricuh sendiri, aku redam mati-matian. Aku tidak mau menerima orang yang menganggapku sebuah penyesalan di hidupnya. Bagiku anne sudah mati."

Amaiya tahu ucapan Bilal tidak dibenarkan, tapi ditinggalkan pergi selama tujuh tahun dan datang begitu saja meminta kembali?

"Anne meninggal di musim gugur tahun selanjutnya, sesuatu yang terus diingat anne sebelum ia wafat adalah namaku Dan aku bersumpah tidak pernah baba diam kepadaku begitu lama seperti yang dilakukanya setelah kematian anne."

Kembali Bilal menatap Amaiya, "inilah yang baba katakan untuk pertama kalinya setelah kubujuk dia bicara. Mungkin ini bisa membantumu mencari jawaban,"

"Apa?" Amaiya lirih. Menyahut singkat.

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang