6. Kesan Terakhir

49 5 3
                                    

"Silence also has a voice, but it need a soul to understand it."

•~•~•

Beberapa saat sebelum acara dimulai.

"Tuan, apa yang anda lakukan dalam mobil terus seperti ini?" Mahi menyangga dagunya bosan menunggu karena sudah tiga puluh menit tetapi Fazza tak mau keluar mobil.

"Apa anda menunggu Hulya? Bukannya dia bilang tidak bisa hadir karena orang tuanya ada di Ankara?"

Fazza akhirnya menoleh mendengar Mahi terus bertanya-tanya apa yang dia lakukan.

Mahi yang sedang menguap langsung terkesiap.

"Tunggu saja aku di dalam."

"Ta-tapi tuan, aku-

Fazza mengisyaratkan ia tak mau diganggu dan dengan terpaksa Mahi keluar mobil terlebih dahulu.

Kembali ia menoleh pada orang-orang yang datang di bedah buku ini dalam mobil.

Ada kakak kelasnya yang dulu memberikannya cokelat dan bunga, langganan berkuda di pacuan kuda milik baba dan juga,

Fazza mengerjap beberapa kali terkejut.

"Pak Mehmet." Gumam Fazza.

"Demi Tuhanku Allah aku sudah memaafkan putramu."

"Tuntutlah dia aku tak keberatan." Musa saat itu hanya menunduk menahan malu atas apa yang telah dilakukan Selim.

"Tidak semua hukuman yang membuat jera adalah penjara," Mehmet saat itu sama sekali tidak ada gurat marah ataupun sedih ketika Musa, istrinya, dan Fazza yang tengah datang ke rumahnya.

Pria itu sudah terlihat tua dengan kerutan di wajahnya, hidup sendiri tanpa anak dan istri.

Fazza ingat, di ruang tamu rumah Pak Mehmet terdapat rak buku sederhana yang berjejer buku-buku termasuk buku babanya. Juga terpampang foto seorang gadis remaja cantik dengan senyum lebarnya.

Mehmet tidak banyak bicara, tampak tenang dan ikhlas setelah beberapa hari yang lalu dirinya mendapat kabar bahwa putrinya mati ditangan kekasih anaknya, Selim. Tentu Mehmet memiliki kesedihan yang paling dalam dari siapapun yang kehilangan sosok anaknya.

"Tetapi karma itu ada dan tidak ada yang bisa lari darinya seperti takdir." Kata Mehmet.

Seberapapun terpandang dan nampak sempurna sebuah keluarga, tentu menyimpan sebuah rahasia atau sisi gelap di dalamnya, begitupun keluarga Musa Gazali.

Fazza kini melihat Pak Mehmet datang di acara bedah bukunya sendirian, membawa sebuah tas berisi buku. Masih tampak kurus dan lebih tua meskipun begitu, sorot mata bijaksana masih ada di sana.

Ia kembali ingat dengan banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya meski masyarakat menganggap Musa atau keluarganya itu terhormat.

Karma itu bukan hanya menimpa Selim, namun juga Musa Gazali. Salah satu anaknya kini juga mati terbunuh dan meninggalkan ingatan yang menyiksa bagi siapapun keluarganya.

"Kakakku berbuat kejahatan yang begitu rendah, aku berharap putrimu diterima di sisi Allah."

Ketika Musa sudah keluar rumah Mehmet pada saat itu, Fazza memberanikan diri untuk mengucapkan itu kepada Mehmet.

Mehmet tersenyum dan memegang bahu Fazza.

"Jadilah harapan yang nyata. Setiap keluarga memiliki permata dan aku melihatnya dalam dirimu."

Harapan.

Fazza memiliki kesadaran itu, bahwa dirinya adalah harapan.

Terkadang kalau Fazza teringat bagaimana mereka semua begitu terpukul oleh banyak perbuatan Selim yang membuat kecewa dan orang-orang tak dapat lagi mempercayainya, terus terang itu membuat Fazza ikut merasakan traumanya.

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang