8. Mencoba Memahami

22 6 2
                                    

Alarm berbunyi pukul enam pagi.

"Sebentar saja." Gumam Amaiya mengeratkan selimut putih itu sampai ke wajahnya.

Menggeliat merasakan kehangatan kasur hotel yang empuk sekali ini dan hangatnya ruangan sementara di luar salju belum berhenti turun.

"Ehm," Amaiya merasa tenggorokannya kering sekali dan napasnya hangat, saat mencoba mengumpulkan nyawa untuk duduk, "aduh kepalaku!"

Gadis itu memejamkan mata sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.

Mungkin karena keterkejutan dan cuaca yang tiba-tiba berubah, atau beratnya oleh-oleh dari pasar kemarin membuatnya kelelahan.

Ketika nyawanya terkumpul ingatan akan Fazza dengan wajah datar tanpa perasaan datang tiba-tiba, dengan ucapan minta maaf-nya yang tanpa perasaan itu membuat Amaiya kembali jengkel.

"Kupikir kau akan melupakanku setelah selama ini yang kau perbuat untukmu."

Amaiya membuang napas gusar dan mengusap kepalanya kesal membiarkan helaian rambut panjangnya menutupi wajah mengingat ucapan Fazza waktu itu.

"Dasar!" Keluhnya.

Tidak sengaja pandangannya mengarah ke oleh-oleh di ujung ruangan seperti memang meminta dilihat.

Lampu mozaik, karpet, dua kardus permen dan coklat, baju, kaligrafi, lukisan dervish yang sedang berputar, dan gantungan kunci jimat nazar.

'Benar katanya, semua ini terlalu banyak. Bagaimana aku membawa semuanya nanti malam?' Dengan cepat pikiran Amaiya teralihkan.

Kemarin dia memang membeli cukup banyak oleh-oleh, entah mungkin karena memang ingin atau hanya .. berusaha menghibur diri sebab tidak tahu harus meluapkan kemana.

Amaiya berusaha tenang dan beranjak dari ranjang dan membuat teh tawar panas agar menghangatkan tubuhnya.

Andai saja ada secang buatan nenek, itu akan membuatnya merasa lebih baik.

Amaiya lalu mengambil sebagian coklat dan permen dan duduk di samping jendela mengarah ke pemandangan kota Konya.

Hotel yang sama ditempati Amaiya setahun yang lalu dengan kamar ini juga.

Ia jadi teringat suatu malam dirinya merasa berbunga-bunga duduk di samping jendela ini karena siang sebelumnya Fazza bilang kalau merindukan Amaiya. Belum lagi lagu Banjaara yang dulu sangat mewakili perasaan mereka.

Itu perasaan terindah yang pernah Amaiya rasakan.

Sekarang semua sudah berbeda.

Sambil menyeruput teh tawarnya dia memandang jauh pemandangan kota yang tertutup salju yang turun pelan, dan kamar tanpa musik atau suara apapun. Hening sekali.

Sampai tiba-tiba ia merasa seseorang tengah berdiri di seberang hotel di luar sana. Ia hanya berdiri memandangi pintu hotel tanpa melakukan apapun. Seperti hanya diam membeku.

Amaiya menajamkan penglihatannya.

Fazza.

Untuk apa pagi-pagi Fazza berdiri di sana tanpa melakukan apapun?

Seketika gadis itu terhenyak, anak itu tidak di rumah atau Konya sama saja! Hanya memandang dari luar tanpa mengetuk atau memanggil sampai dirinya datang menghampiri.

Ingatan saat Fazza menjenguknya ketika sakit waktu itu, membuat Amaiya kembali berkaca-kaca.

'Apakah dia benar masih menungguku di sana?'

Amaiya memandang ragu.

Atau .. Fazza berubah pikiran?

•~•~•

F A Z Z A: Sekata (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang