Bab 2

792 98 36
                                    

Tinggi badannya 171 sentimeter. Hoetaek tidak pendek, tapi teman-temannya saja yang kebanyakan mewarisi genetik seorang Titan, tinggi-tinggi sekali. Yang paling menyebalkan kenapa peralatan penting seperti P3K harus ditaruh di tempat yang tinggi? Akibatnya Hoetaek jadi kerepotan sekarang. Dia mempunyai dua pasien, Jiwoong sedang menunggu giliran untuk diobati.

"Apa kau merasa lebih baik, Yujin-ah?" Han Yujin mengangguk. Dia menoleh pada Gyuvin. Kejadian gelas pecahnya langsung menjadi perhatian, para trainee sempat mengerumuni mereka, tapi Hoetaek berhasil membubarkan kerumunan. Kini tinggal tersisa Gyuvin, temannya Yujin, mereka berdua sangat dekat mungkin karena berasal dari agensi yang sama.

"Terima kasih, Hyung." Kali ini Hoetaek yang mengangguk. Tidak masalah, dia sudah terbiasa membereskan kekacauan yang dibuat rekan satu timnya. Kali ini yang sedikit berbeda adalah Hoetaek mendapatkan bantuan dari Hanbin, Sung Hanbin.

Anak itu rupanya cukup memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hanbin menyingkirkan pecahan kaca dengan teliti, tadinya dia ingin mengobati Jiwoong, tapi lelaki bermarga Kim itu menolak. Tentu saja Jiwoong ingin diobati oleh Hoetaek.

"Istirahatlah dulu sebelum berlatih lagi, kuyakin kau sedang melamun 'kan tadi?" tanya Hoetaek membuat hipotesis berdasarkan cerita teman-temannya. Katanya Yujin dimarahi ketika latihan bersama dengan star master, mungkin itu yang menjadi bahan pikirannya, akhirnya Yujin tidak fokus saat memegang gelas.

Yang dinasihati malah nyengir lebar, lalu mengangguk samar, hipotesis Hoetaek sepertinya benar seratus persen.

"Gyuvin-ah, nanti aku akan bicara denganmu, sekarang temani Yujin untuk kembali ke kamarnya, dan tolong ambilkan sandalku." Tumben sekali Gyuvin tak banyak bicara. Dia hanya mengangguk, lalu pergi bersama dengan Yujin, menyisakan Hoetaek dan Jiwoong yang sedang duduk berdua di kursi dapur.

"Aku sungguh minta maaf karena diriku kakimu jadi terluka," ujar Hoetaek yang tak dapat reaksi dari Jiwoong, dia sibuk memandangi Hoetaek.

"Mari sini kulihat," lanjutnya seraya mengangkat kaki kiri Jiwoong ke atas pahanya. Perlahan dia membuka kaus kaki cokelat yang membungkus kakinya. Ternyata bukan luka yang serius, tidak terlalu dalam karena kepingan beling tertahan oleh kaus kakinya, terperangkap di sana.

"Apakah perih?" Hoetaek mendongak, melihat wajah Jiwoong yang sedang terpaku menatapnya.

"Jiwoong-ah?" Dia berseru lagi, kali ini yang dipanggil mengerjap.

"Hah, apa?" tanyanya kebingungan. Hoetaek menggeleng pelan. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Jiwoong hingga pertanyaan Hoetaek tak terdengar olehnya. Sudahlah lupakan saja, Hoetaek memutuskan untuk mengobati lukanya.

Jiwoong sesekali mengaduh, sekecil apapun luka memang akan terasa perih, Hoetaek berusaha mengoleskan salep selembut mungkin, lalu menutup lukanya dengan kain kasa.

"Sentuhanmu sangat hangat, Hyung." Pernyataan Jiwoong membuat mata Hoetaek memicing, maksudnya?

"Artinya aku memuji kebaikan hatimu, Hyung," katanya menjelaskan. Jiwoong tidak tahan ditatap dengan binar curiga seperti itu, dia takut Hoetaek salah paham.

Mulutnya membulat, oh, begitukah? Hoetaek merespon dengan senyum manisnya, dia hanya berusaha peduli, Hoetaek tak pernah merasa jadi orang baik.

"Tapi, Hyung, aku penasaran akan satu hal, bagaimana rasanya kembali ke tempat yang seperti ini?" Pertanyaannya terdengar sederhana tapi untuk menjawabnya Hoetaek harus menghela napas dalam-dalam.

"Rasanya seperti bernostalgia," jawabnya dengan mata sayu, Hoetaek sudah pernah merasakan berada di tempat seperti ini beberapa tahun yang lalu, kini ketika harus berada lagi di tempat yang persis seperti dulu, dia sungguhan merasa sedang bernostalgia.

Lukewarm || Hui-Jiwoong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang