Bab 17

518 100 49
                                    

Seunghwan mengatakan Jiwoong tolol. Hoetaek mencacinya dungu, Shanbin menertawakannya, orang-orang ini membuat Jiwoong banyak berpikir, dia tak mau membuat kesalahan lagi, itulah sebabnya dia jadi pendiam. Tak menyapa Hoetaek apalagi yang lain.

Mencegah lebih baik daripada memperbaiki, bukan? Harus Jiwoong akui, dia memang bodoh. Waktu itu dia terpancing emosi karena melihat keakraban Shanbin dan Hoetaek, jadilah semuanya kacau. Tapi sekarang Jiwoong berusaha untuk tidak memedulikannya, meski seringkali teman laknatnya yang bernama Seunghwan pamer kedekatannya dengan Hoetaek.

Sengaja sekali lelaki itu menggenggam tangan Hoetaek di hadapan Jiwoong. Membuat Jiwoong kelabakan menahan emosinya, dan akhirnya memilih pergi dari sana, Seunghwan beruntung karena bisa satu tim dengan Hoetaek, dia memanfaatkan kesempatannya dengan baik.

Jiwoong sebenarnya hampir stres karena terus menerus menahan perasaannya. Ini sangat melelahkan, apakah korban-korbannya merasakan hal yang sama ketika Jiwoong berdekatan dengan yang lain? Tidak bisakah Hoetaek hanya melihatnya? Jiwoong benci membayangkan senyuman itu diberikan pada yang lain.

Dia ingin memiliki Hoetaek untuk dirinya sendiri.

Namun, kalimat Hoetaek membuatnya tersadar bahwa mungkin Jiwoong tak cukup baik untuk memilikinya. Jiwoong tak pernah mencoba untuk mengerti perasaannya, Jiwoong hanya memikirkan dirinya sendiri.

Pujian orang-orang padanya ternyata bisa membuahkan racun. Dia merasa tak akan pernah ditinggalkan karena wajah tampannya, tapi itu salah besar, Hoetaek sama sekali tak peduli dengan ketampanan Jiwoong karena banyak lelaki tampan di sekelilingnya, dia baru sadar bahwa saingannya untuk mendapatkan Hoetaek ada banyak, tak hanya Shanbin.

Ketika mendengar Hoetaek demam, Jiwoong sebenarnya segera berlari ke kamar Hoetaek, tapi dia kalah cepat dengan Shanbin, lelaki itu sudah berada di sampingnya, merawatnya dengan baik. Ah, jaraknya dengan Hoetaek semakin jauh hingga Jiwoong sempat berpikir untuk menyerah saja.

Namun, Jiwoong tetap tidak bisa tidur. Dia masih penasaran, baiklah ini yang terakhir, Jiwoong ingin memasak. Malam-malam dia pergi ke dapur, untungnya bahan makanan di kulkas masih tersedia. Sejak remaja, Jiwoong sudah terbiasa memasak sendiri, jadi jangan ragukan rasa masakannya.

Dia bahkan melupakan waktu, hingga matahari hampir terbit Jiwoong masih berkutat di dapur. Orang pertama yang menyapanya pagi ini adalah Matthew. Lelaki itu mencari sesuatu untuk dimakan.

"Kau baru bangun atau tidak bisa tidur, Hyung?" tanyanya sembari menarik puding cokelat dari lemari pendingin.

"Aku belum tidur," jawabnya.

"Pantas wajahmu terlihat seperti zombie." Matthew tertawa, santai menanggapi seraya menyantap puding cokelatnya.

"Kau sendiri? Tumben sekali jam segini sudah bangun."

"Loh, aku memang biasanya bangun pagi, Hyung. Aku sudah cuci muka dan gosok gigi, dan aku lapar, camilanku habis, aku bertanya pada Shanbin Hyung, lalu dia menyuruhku untuk mengambil puding cokelatnya, jadi ya ... untuk apa aku menolak," jelasnya panjang lebar. Matthew tidak tahu kalimatnya malah membuat Jiwoong tertarik.

"Shanbin ada di mana?"

"Di ... kamarkulah, sekarang 'kan kami satu kamar." Matthew tak mau ambil pusing, dia menjawab enteng sambil terus menyantap pudingnya.

Sementara Jiwoong mengernyit heran, benarkah? Bukannya Shanbin menginap di kamar Hoetaek?

"Ngomong-ngomong apa yang kau masak, Hyung? Bolehkah aku mencobanya?" Pertanyaan Matthew membuyarkan pikiran Jiwoong. Lelaki itu menggeleng pelan, berusaha menghentikan pemikirannya, itu bukan urusannya lagi.

Lukewarm || Hui-Jiwoong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang