Bab 5

676 88 41
                                    

Angin malam berembus perlahan, meniup rambut Hoetaek yang memang sudah berantakan, wajahnya penuh keringat, kaus dalamnya sudah basah, tapi kaki-kakinya masih bergerak cepat, berlari mengelilingi halaman gedung asrama.

"Bagaimana?" Terdengar suara tegas dari dalam earphone-nya. Hoetaek tak langsung menjawab, dia berhenti sejenak untuk menghela napas yang cukup panjang, lalu mengembuskannya kasar, suhu tubuhnya terjaga hangat oleh jaket parasut yang dipakainya. Pandangannya mengedar melihat sekeliling, sepi, jam menunjukkan pukul satu dinihari.

Para peserta pelatihan mungkin sudah tertidur di kamar masing-masing, hanya Hoetaek yang terjaga, tak bisa memejamkan mata.

"Aku tidak mau, biarkan saja seperti itu." Hoetaek menolak meski lelaki di ujung sana memberikan penawaran menarik padanya. "Bukankah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan?"

"Dengarkan aku dulu, Hui—"

"Siapa Hui? Saat ini kau sedang berbicara dengan peserta pelatihan Lee Hoetaek." Kalimatnya kali ini terdengar lebih tajam, di wajahnya bahkan tercetak senyum mengejek.

"Hui, aku tahu kau marah, tapi—"

"Marah?" Hoetaek terkekeh pelan. Orang ini lucu sekali, setelah semua yang dia lakukan apakah baru kali ini dia menyadari kalau Hoetaek bisa marah? "Kalau aku sedang marah, aku pasti sudah mengakhiri telponmu sedari tadi, Hyung."

"Lalu kenapa kau tidak setuju dengan tawaranku?" Lelaki di ujung sana berseru gemas, Hui kalau sudah dalam mode kecewa, dia tak akan banyak mendengarkan, sedari tadi kalimatnya terus dipotong oleh Hui.

"Karena aku bukanlah Hui. Aku Hoetaek, kau tak dengar? Aku hanyalah seorang peserta pelatihan." Hoetaek memberikan penekanan pada setiap kata yang diucapkannya hingga lelaki yang sedang menelpon dengannya menghela napas kasar, pembicaraan mereka sedari tadi terus berputar-putar di sekitaran itu. Pasti ada sesuatu yang dia lewatkan, cara memulai komunikasinya yang salah.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya setelah menarik kesimpulan, Hui pasti menginginkan sesuatu darinya, entah apapun itu.

"Tinggalkan aku sendiri," jawab Hoetaek santai, kaki-kakinya mulai bergerak lagi, berlari mengelilingi halaman yang cukup luas.

"Hui, tolonglah ...."

"Seperti yang kau bilang, aku akan melihat situasiku saat ini sebagai kesempatan, kau tenang saja aku tak akan mencari masalah, aku akan menghadapinya dengan caraku, aku tidak butuh bantuanmu."

"Yak!"

Hoetaek mengakhiri panggilan sebelum terdengar kalimat sumpah serapah darinya, dia tak peduli, orang-orang di dunia ini serakah sekali, Hoetaek sudah tidak tahan terjebak di dalamnya, dia hanya ingin ditinggalkan dengan musik yang dicintainya, bisakah industri ini tidak disusupi oleh kaum kapitalis yang menyebalkan?

Mustahil sekali hal itu terjadi, uang memang penggerak roda industri, Hoetaek tak bisa menyangkalnya. Yang bisa dia lakukan hanyalah memberikan batasan. Tadi Hoetaek mungkin terdengar kejam, tapi itu adalah bentuk ketegasannya sebagai seorang musisi. Hoetaek tak boleh selamanya jadi baik hati lalu menerima saja apa kehendak orang lain.

Jika seperti itu maka tak akan ada Hui yang dikenal semua orang. Meskipun sekarang memang Hui sedang istirahat. Hoetaek tak ingin menggangunya, dia terus melanjutkan kegiatannya, berlari mengelilingi lapangan.

Pelataran gedung ini bisa disebut sebagai halaman ataupun lapangan, sebab ketika waktu senggang bisa digunakan untuk bermain bola. Para peserta pelatihan suka bermain-main di halaman kompleks. Iya, karena di tanah ini tidak hanya berdiri satu gedung saja. Mereka mendirikan gedung-gedung dengan jarak yang berdekatan, supaya mudah mengatur acara.

Sepuluh menit sudah dihabiskannya sejak mulai berlari lagi, Hoetaek membuang napasnya. Pandangannya lurus ke depan, pada jalanan yang sesekali dilewati oleh mobil, tangannya meraih kerah jaket, mengibas-ngibaskannya, suhu badannya meningkat, gerah.

Di tengah kesendiriannya tiba-tiba ada sebuah botol plastik yang menempel di pipinya, Hoetaek berseru kaget, pertama karena suhunya yang terasa dingin, kedua karena botol itu berasal dari belakang tubuhnya, dia berbalik, lalu mendapati Jiwoong yang terkekeh mengejeknya.

"Kenapa, Hyung? Aku bukan hantu," ujarnya kemudian, suara tawanya semakin kencang. Hoetaek berdecak kesal, membuat Jiwoong sedikit merasa bersalah, dia pura-pura batuk, ternyata leluconnya tidak lucu.

"Maaf, Hyung, aku hanya ingin memberimu minuman, kupikir kau haus." Jiwoong mengangkat lagi botol air mineralnya. "Kau mau?" tanyanya memastikan.

Hoetaek meraihnya dari tangan Jiwoong, saat ini dia memang merasa haus. "Tak bisakah kau datang dengan cara yang biasa? Aku hampir saja memukulmu tadi," katanya setelah menenggak minumannya hingga tersisa setengah.

"Iya, iya, maaf, kupikir akan menyenangkan mengagetkanmu, tapi sepertinya kau tidak dalam mood yang baik malam ini."

Satu helaan napas kasar terdengar lagi dari mulutnya, Hoetaek tidak menyangka Jiwoong pandai membaca suasana hatinya. Dia memang tidak sedang ingin bercanda, apalagi bermain-main, satu telpon itu berhasil merenggut mood-nya.

"Ada perlu apa kau kemari?" tanya Hoetaek dengan intonasi yang tidak terdengar ramah di telinga Jiwoong. Apalagi dengan wajah kelelahan Hoetaek yang masih berkeringat, hei, ke mana perginya Hoetaek yang manis dan imut?

"Aku tidak bisa tidur karena besok pengumuman eliminasi pertama. Jadi aku menengok ke jendela, dan aku melihatmu sedang berolahraga, begitulah, aku penasaran lalu—"

"Kau penasaran atau merasa iba padaku?"

"Hah?" Jiwoong terperanjat, Hoetaek memotong kalimatnya hanya untuk menanyakan hal yang tak dimengerti oleh Jiwoong, dengan ekspresi seperti itu, sekarang dia merasa Hoetaek bisa melahapnya dalam sekali suapan.

"Aku menanyakan alasanmu Jiwoong. Kenapa kau bersikap baik padaku? Kau penasaran atau merasa iba? Apa aku terlihat menyedihkan di matamu?" tuturnya memperjelas.

Jiwoong menggeleng tegas. "Tidak keduanya, aku mendekatimu karena aku menyukaimu, Hyung."

Hoetaek tersenyum, bukan senyuman manis, melainkan lengkungan sinis, sulit dipercaya dalam situasi seperti ini dia malah mendapatkan pengakuan rasa suka. "Lalu bagaimana dengan Seowon, Matthew—"

"Mereka temanku." Kali ini Jiwoong yang memotong, jika Hoetaek menyebutkan semua orang yang dekat dengannya, bisa semakin panjang urusan mereka.

"Kau datang ke sini untuk mencari jodoh?" Pertanyaannya masih terdengar tajam, Jiwoong menggeleng, tentu tidak.

"Kalau begitu berhenti menggangguku. Fokus saja untuk mengejar impianmu." Kalimat Hoetaek membuat Jiwoong mematung, itu terlalu mengejutkan.

"Apa kau menolakku, Hyung?"

"Aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan, Jiwoong. Semua ini sudah cukup membuatku sakit kepala, kau tak usah menambahkannya lagi dengan bermain-main di sekitarku."

"Tapi, aku sungguh menyukaimu, Hyung." Jiwoong bergeming, binar matanya tidak goyah sama sekali, menatap lurus pada bola mata hitam Hoetaek yang tak lagi terlihat sayu, mata itu menyampaikan berbagai emosi yang selama ini dipendam oleh Hoetaek.

"Sungguh? Kau bahkan belum mengenalku dengan baik tapi kau sudah mengatakan bahwa kau menyukaiku."

"Maka dari itu, berikan aku kesempatan untuk mengenalmu, jangan menghindariku lagi, Hyung."

Hoetaek terdiam, dia menghela napas untuk menenangkan pikirannya. Hoetaek tak mengerti apa yang Jiwoong inginkan darinya, tapi dia mencoba untuk mencari sisi baiknya. "Apa untungnya untukku?"

Sepersekian detik Jiwoong tak bersuara, netra yang selalu terlihat sayu itu kini berbinar menuntut sesuatu, baiklah Jiwoong akan memberikannya. "Kau bisa menggunakanku sebagai pijakan untuk mencapai tujuanmu."

***

Bersambung...

Wes, keknya udah mulai konflik nih. Seru kah? Hahahah.

Gawat, Hei, Fii kecanduan nulis cerita ini, susah untuk berhenti😭 kalian komen terus si, jadinya fii makin semangat nulis, kalian seneng 'kan, heh?☺️ Yaudah lanjut komen yang banyak, wkwkwk

Salam,
Fii

Lukewarm || Hui-Jiwoong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang