Layaknya boneka yang rusak Hoetaek kecil terus-menerus melamun di kelasnya, selama berhari-hari hanya menatap papan tulis, dia tidak bicara, tidak pula mendengarkan orang lain bicara. Orang-orang di sekitarnya mulai merasa heran, ke mana perginya anak yang selalu ceria itu?
Hoetaek tak menjawab ketika ditanya, yang ada malah kalimat si bajingan itu kembali terputar di otaknya. Lengkap dengan ekspresi bengisnya. "Kalau kamu bercerita pada orang lain maka kamu yang akan rugi, Nak."
Lalu, setelah itu muncullah perasaan jijik pada dirinya sendiri. Hoetaek menangis sejadi-jadinya. Dia menyesal, ayahnya tak pernah mengajarkan Hoetaek untuk jadi orang lemah, ayahnya selalu menjaganya, tapi Hoetaek gagal mempertahankan apa yang telah diajarkan ayahnya, Hoetaek lalai, ini semua salahnya.
Kenapa Hoetaek mudah diperdaya dan langsung menuruti permintaan bajingan itu untuk mencoba celana pendek pemberiannya, harusnya Hoetaek berusaha untuk melawannya, tapi kenapa dia hanya terdiam selama beberapa menit? Kenapa?
Penyesalan-penyesalan itu terus tertinggal di dalam benak Hoetaek selama bertahun-tahun lamanya. Apalagi dia tidak pernah mendapatkan dukungan dari ibunya, berdamai dengan dirinya sendiri menjadi semakin sulit untuk dilakukan.
Padahal semua yang telah terjadi itu bukanlah salahnya. Hoetaek adalah korban, lalu kenapa dia yang harus merasa malu? Dia bahkan dihakimi oleh dirinya sendiri.
Entah bagaimana jadinya kalau saat itu salah satu gurunya tidak mengulurkan tangan untuk membantu, saat ini mungkin tidak akan ada Hui yang dikenal oleh semua orang. Hoetaek sempat dirawat olehnya sebelum diserahkan ke lembaga perlindungan anak.
Kasus ini sempat diusut sampai ke ranah hukum, tapi tidak ada bukti yang kuat, tubuh Hoetaek tak terluka sedikitpun. Bajingan itu menyangkal sampai akhir, sedangkan ibunya meminta untuk tidak mencampuri urusan keluarganya.
Akhirnya kasus ditutup, tapi Hoetaek tidak kembali pada keluarga itu. Dia dirawat di fasilitas perlindungan korban pelecehan seksual, di sana dia bertemu dengan seorang guru, yang membantunya menggali bakat.
Sepanjang hidupnya Hoetaek akan terus berterima kasih pada wanita itu. Orang yang membantunya mencapai cita-citanya. Orang yang menopang tubuhnya supaya bisa berdiri setelah terjerembap ke dalam lubang hitam yang sangat dalam.
Namun, hari ini Hoetaek terjatuh lagi ke dalam lubang yang sama. Dia pikir otaknya sudah mulai melupakan kejadian itu, tapi tidak, nyatanya trauma tidak cukup disembuhkan dengan melupakan. Tubuhnya tetap bereaksi ketika melihat bajingan itu, reaksi yang sama untuk menyelamatkan diri dari situasi yang dianggap membahayakan.
Butuh waktu untuk mengembalikan kondisi tubuhnya ke dalam mode normal. Hoetaek meminta lima belas menit sebelum syuting dimulai. Akan tetapi Jiwoong yang keras kepala, tak mau membiarkannya sendirian, dia khawatir.
"Kau ingin minum lagi, Hyung?" tanya Jiwoong setelah melihat botol yang digenggam Hoetaek hampir kosong.
"Tidak, Jiwoong. Ini sudah cukup," jawabnya masih dengan pandangan yang menunduk, menatap lantai ruang tunggu. Jiwoong yang melihat itu langsung mendekat padanya, dia menekuk lututnya, supaya Hoetaek bisa memandang wajahnya.
"Jika kau belum merasa baik, aku akan meminta keringanan kepada tim produksi supaya syuting diundur—"
"Jiwoong-ah, mereka sudah memberikan waktu, aku tidak mau menjadi penghambat dalam pekerjaan mereka." Hoetaek menolak ide Jiwoong sembari tersenyum meyakinkan.
Jiwoong hanya bisa menghela napas kasar. Hoetaek sangat aneh hari ini, sebenarnya dia tidak tahu kenapa Hoetaek tiba-tiba jadi seperti ini, yang Jiwoong tahu, dia tidak suka melihat Hoetaek seperti ini, hatinya sakit.
"Apa lututmu masih sakit, Hyung?" tanyanya dengan intonasi suara yang lebih lembut. Hoetaek menggeleng pelan lalu tanpa sadar tatapannya kembali kosong, Hoetaek mematung, mengabaikan Jiwoong yang bahkan ada di hadapannya.
Akhirnya lelaki itu berinisiatif untuk meraih tangan Hoetaek, menggantikan botol yang sedari tadi digenggamnya. Tekniknya berhasil, mata Hoetaek mengerjap, pandangannya kembali terisi. "Hyung ... jika terlalu berat jangan dipendam sendiri," ujarnya seraya mengusap punggung tangan Hoetaek lembut.
Meski dapat merasakan kehangatan dari sentuhan Jiwoong tapi Hoetaek masih bergeming, dia hanya memperhatikan Jiwoong, yang perlahan mengangkat tangannya, lalu mengecupnya. Jiwoong mendongak, menatap netra sayu Hoetaek.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian, Hyung." Binar kesungguhan yang terpancar dari matanya berhasil membuat Hoetaek sedikit tersenyum.
"Terima kasih," ucapnya singkat. Sesingkat senyumannya. Jiwoong tidak mengerti kenapa perasaannya jadi kacau, tolong, dia tidak mau melihat Hoetaek seperti ini, Jiwoong tidak kuat, matanya mulai memanas dan berair, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan olehnya untuk membuat Hoetaek kembali.
"Hei, kenapa kau menangis?" Pertanyaan itu malah membuat air di mata Jiwoong benar-benar jatuh. Entahlah, Jiwoong tidak bisa menjelaskannya, dia mengerti Hoetaek tidak baik-baik saja, tapi dia tidak mengerti kenapa Hoetaek tidak menangis.
"Karena kau tidak menangis, Hyung," jawabnya menyimpulkan, mungkin Jiwoong sedih karena Hoetaek berusaha terlihat baik-baik saja.
"Aku tidak sedih, Jiwoong, kenapa aku harus menangis?" ujarnya lembut, tangannya yang tidak digenggam Jiwoong bergerak menghapus air di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja, aku hanya butuh waktu," lanjutnya masih dengan binar mata yang sama, yang saat ini tak bisa dipercaya Jiwoong.
"Hyung, tolong jangan hukum aku seperti ini, lebih baik sekarang kau marah padaku, luapkan semua emosimu," pintanya sembari memohon, Jiwoong tidak mengerti apa yang sedang dirasakan Hoetaek, dia bilang dia tidak sedih, dia baik-baik saja, dia tidak marah, tapi kondisinya tidak mengatakan demikian, Hoetaek seperti mati rasa.
"Kau tak mempunyai salah apapun, Jiwoong, kenapa aku harus marah padamu?" Jiwoong tak bisa menjawab pertanyaan Hoetaek, yang bisa dia lakukan hanyalah menggenggam tangannya erat, setidaknya kehadiran Jiwoong bisa membantun menghangatkan tubuh Hoetaek yang seakan membeku.
Beberapa menit berlalu diisi keheningan untuk Jiwoong, tapi tidak dengan Hoetaek, pikirannya berisik sekali, bergantian mengulang kalimat-kalimat penyesalannya.
"Jiwoong-ah, telingaku berdenging," tuturnya sebelum meletakkan kedua tangannya untuk menutup telinga. Jiwoong sebenarnya agak panik, tapi dia berusaha tenang, diraihnya lengan Hoetaek, lalu Jiwoong meletakkan tangannya sebagai pelapis kedua untuk menutupi telinga Hoetaek.
Itu lebih baik, Hoetaek tidak lagi mendengar suara sumbang di dalam pikirannya, Jiwoong membimbing Hoetaek untuk memfokuskan pandangan pada wajahnya, hanya untuknya. Jiwoong tidak sedang menghipnotisnya, dia berusaha berkomunikasi menggunakan gerak bibir.
"Annyeong, Hyung. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya tanpa suara, ekspresinya lumayan lucu, membuat Hoetaek sedikit terkekeh. Jiwoong tak menyerah, dia terus berceloteh tanpa suara, hingga perlahan binar mata Hoetaek kembali normal, tidak lagi seperti zombie.
"Aku mencintaimu, Hyung," pungkasnya mengakhiri permainan tebak bibir. Jiwoong tersenyum manis, dia harap Hoetaek bisa membaca gerakan bibirnya dengan baik, tapi lelaki itu malah terdiam, Jiwoong jadi cemas tak keruan. Apa Hoetaek tidak suka? Atau tidak mengerti?
Akan tetapi, keraguannya segera terjawab oleh lengkungan indah di wajah Hoetaek. Tiba-tiba saja Hoetaek membalas, kini Jiwoong yang harus menebak gerakan bibir Hoetaek.
"Aku juga."
***
Bersambung...
Hehehehe, dih apa sih, kok Fii jadi senyum-senyum sendiri gini🤭♥️
Aaaaaaaaaa, dahlah, Fii mau jualan tiket buat pindah planet aja.
Salam,
Fii
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukewarm || Hui-Jiwoong
FanfictionHanya orang gila yang bercita-cita ingin menjadi idol di Korea. Peluangnya sangat kecil, meskipun berhasil belum tentu bisa bertahan di industri ini. Hui adalah salah satu bukti kekejaman industri hiburan di Korea. Produser yang pernah mencapai masa...