Bab 8

658 82 59
                                    

Selamat dari eliminasi pertama bukanlah akhir perjalanan acara survival, ada misi selanjutnya yang harus diselesaikan, temanya adalah memamerkan kemampuan posisi dancer, singer, dan rapper. Setiap orang tentu punya kelebihan masing-masing, meski idol dituntut sempurna untuk melakukan tiga keahlian itu, tapi tetap saja pasti ada satu yang lebih mereka kuasai.

Sayangnya di misi kali ini mereka tidak bisa memilih hanya satu, mereka dituntut untuk menguasai dua keahlian dalam satu penampilan. Cara pembentukan tim ditentukan oleh pemilihan lagu, aturannya kali ini cukup menyebalkan, masalahnya setiap lagu punya batasan anggotanya tersendiri, jadi tak semua orang bisa memilih lagu yang mereka inginkan.

Seunghwan misalnya, dia sudah senang sekali bisa satu tim dengan Hoetaek, tapi tiba-tiba Shanbin si peringkat satu mendepaknya dari sana. Begitulah peraturannya, peringkat adalah segalanya, jika kau berada di garis juru kunci maka peringkatmu merupakan hukuman.

Jiwoong yang masih nangkring di peringkat sembilan besar tentu tak kesulitan untuk mempertahankan posisinya di lagu yang dia inginkan, love killa, sebuah lagu bergenre R&B Soul milik Monsta X. Lagu ini memang sangat cocok untuk Jiwoong yang suka pamer keseksiannya.

Bahkan dia terus mengulangi bagian lirik pembukanya, sebenarnya tak masalah, sih, tapi Jiwoong menggunakannya untuk menggoda Hoetaek.

"Pilihan nomor dua itu tidak ada, nomor dua sudah gugur sebelum kita membuat taruhan." Hoetaek sekuat tenaga menyangkal, dari awal Jiwoong yang mengusulkan kegiatan nomor dua, Hoetaek tidak merasa menyetujuinya sama sekali.

"Oh I’m sorry, did I make you anxious?" tanyanya tiba-tiba menyanyikan lirik love killa, suaranya berat, tatapan matanya menggairahkan, Hoetaek yang tadinya ingin mengomel lagi langsung menelan kata-katanya, dia tidak dapat menyangkal, itu cukup seksi.

Jiwoong tersenyum, tak mau kehilangan momen, tangannya langsung meraih tubuh Hoetaek yang tak jauh darinya, melingkar di perutnya, membimbing Hoetaek untuk melihat ke depan, sedangkan Jiwoong memeluknya dari belakang.

"Hyung ... pejamkan matamu sebentar," perintahnya setengah berbisik di belakang telinga Hoetaek, hangat napas Jiwoong menyentuh kulitnya, Hoetaek menurut, matanya terpejam, tubuhnya mulai rileks di pelukan Jiwoong hingga angin malam yang berembus tak dapat membuatnya kedinginan.

"Sekarang beritahu aku, apa yang kau rasakan, Hyung?" tanyanya lagi, pelukannya semakin erat, bahkan dagunya kini sudah bersandar di pundak Hoetaek.

"Entahlah, aku tidak dapat menjelaskannya." Hoetaek menjeda kalimatnya lalu menarik napas panjang. "Aku tidak pernah merasa seperti ini." Jantungnya berdegup kencang seperti sedang cemas, tapi di sisi lain dia malah merasa tenang karena aliran darah di tubuhnya seperti menyebarkan kegembiraan lalu mengirim sinyal pada otak untuk membenarkan apa yang sedang dirasakan oleh hatinya.

Jiwoong melepaskan pelukannya, lalu meraih tubuh Hoetaek supaya bergeser menghadapnya, refleks Hoetaek membuka matanya, jika yang tadi dilakukan Jiwoong adalah proses hipnotis maka sepertinya Jiwoong berhasil melakukannya, hanya dengan melihat wajahnya saja Hoetaek sudah tersenyum.

"Kau cantik." Jiwoong memuji, hanya dua kata memang, tapi cukup untuk membuat telinga Hoetaek memerah.

"Aku laki-laki, Jiwoong-ah."

"Iya, tapi kau cantik." Untuk menyembunyikan kesalahtingkahannya Hoetaek tertawa, entah apa yang lucu, tapi Jiwoong juga terkekeh pelan, menurutnya Hoetaek yang lucu.

"Karena kau keras kepala, Hyung. Yasudah aku pilih nomor satu saja," ujarnya kembali ke topik yang pertama. Taruhan adalah taruhan, Hoetaek harus memenuhi janjinya.

"Nomor satu? Apa yang ingin kau ketahui?" Pilihan nomor satu bukanlah sesuatu yang berbahaya, Hoetaek memberikan kesempatan Jiwoong untuk mengajukan tiga pertanyaan sensitif yang tentu akan dijawab jujur oleh Hoetaek.

Jiwoong menggeleng. "Bukan untukku." Jiwoong mengalihkan pandangan, kakinya maju beberapa langkah sampai di tepi atap, dekat dengan pagar pembatas. "Tapi kau, Hyung. Apa yang ingin kau ketahui, aku akan menjawab tiga pertanyaanmu."

Keningnya mengernyit heran, tapi Jiwoong yang menang, harusnya Hoetaek yang menjawab. "Aku tahu hatimu dipenuhi keraguan, Hyung. Hingga sampai saat ini kau tak menerimaku, jadi tanyakan saja apa yang membuatmu ragu, kau bisa memutuskan setelah mendengar jawabanku." Jiwoong menoleh padanya, dia mengingatkan tentang obrolan mereka malam itu di tempat yang sama.

Hoetaek bilang dia akan memberikan kesempatan supaya Jiwoong lebih mengenalnya, tapi hanya itu.

Sejenak suasana di atap lengang. Jiwoong dan Hoetaek sibuk dengan pikirannya masing-masing, tapi kemudian Hoetaek melontarkan pertanyaan. "Hubungan seperti apa yang kau inginkan, Jiwoong-ah?"

"Hubungan yang selalu terasa hangat-hangat kuku, kita harus terus menjaganya supaya tidak jadi dingin," jawabnya tanpa ragu, itu kalimat yang menarik, Hoetaek belum pernah mendengar istilah hubungan hangat-hangat kuku, Jiwoong memang pandai merangkai kata-kata.

"Begitukah? Lalu bagaimana kalau hubungan itu menjadi dingin sebelum kita bisa menikmatinya?" Hoetaek balik bertanya, jika Jiwoong ingin bermain dengan kata-kata, Hoetaek bisa mengimbanginya, dia pencipta lagu, tentu saja dia juga pandai merangkai kata.

"Mungkin hubungan itu harus dimulai dengan sesuatu yang panas mendidih, agar kehangatannya awet."

Hoetaek tertawa, dia tahu semua kalimat Jiwoong tadi adalah kiasan, tapi otaknya tidak bisa diajak kerja sama, dia malah memikirkan jokes bapak-bapak. "Jika terlalu panas, kita bisa terpanggang di dalamnya, Jiwoong-ah, kita akan jadi arang sebelum bisa menikmatinya, gosong."

"Tak apa, asal bersamamu aku bahkan rela menjadi abu gosok." Itu gombalan paling menggelikan yang pernah didengar Hoetaek, tawanya semakin kencang, berbeda dengan Jiwoong yang hanya tersenyum samar, bukannya merasa tersinggung karena Hoetaek mengejek kalimatnya, tapi karena otaknya sedang merekam keindahan di depan matanya.

Mata Hoetaek yang menghilang karena tertawa itu sungguh menggemaskan. Tapi perlahan tawanya berhenti karena merasa Jiwoong tidak menganggap itu lucu. "Maaf, aku tidak bermaksud—"

"Hyung, bibirmu sangat indah."

"Eh?" Hoetaek kaget, dia sepenuhnya menatap Jiwoong, memperhatikan bola matanya yang hitam legam.

"Bolehkah aku menciumnya?" Hoetaek terkesiap, sebenarnya dia sudah punya firasat terhadap tatapan maut itu, tapi dia tidak menyangka Jiwoong akan sangat vokal menyuarakannya, tak ada keraguan sedikitpun. "Aku akan menganggapmu setuju jika kau tidak kabur dalam dua detik."

"Satu." Hati dan otak Hoetaek sedang bertengkar saat ini, keduanya tak mempunyai keinginan yang sama, sedangkan Hoetaek tak memiliki banyak waktu untuk memutuskan Jiwoong sudah menjeda kalimatnya lumayan lama.

"Du—"

Ucapannya terpotong, Hoetaek lebih dulu mengecup bibir Jiwoong, kalian tak salah lihat, Hoetaek yang maju, kakinya bahkan berjinjit lucu, persetan dengan akal sehatnya, hatinya sudah memenangkan perdebatan.

Jiwoong tentu tak menolak, hatinya bergejolak senang, dia tersenyum saat Hoetaek mengakhiri kecupan manisnya, tangannya segera meraih tengkuk Hoetaek, lalu kening mereka bertemu, saling menempel. "Kau yang memulai, Hyung," ucapnya dengan kerendahan suara yang membuat Hoetaek melengkungkan garis manis menggoda.

Tentu saja Jiwoong tak ingin memberikan jeda terlalu lama, bibir itu semakin indah di matanya, dia mengecupnya sekali lagi, sebelum kepalanya miring ke samping, mencari posisi nyaman untuk melumat bibir Hoetaek, membawanya ke dalam gairah yang memabukkan, malam itu keduanya menciptakan irama yang lebih indah daripada alunan musik.

***

Bersambung.

Hahahahahah, jantung kalian aman? Kalo Fii sih enggak ya, ini chapter full mesra-mesraan soalnya😭

Santai woy! Coba santai, Fii degdegan banget karena cerita ini tiba-tiba nangkring di rangking yang mengesankan. Makasih banget loh kalian udah dukung cerita tidak jelas ini🥺

Dahlah, Fii mau kayang dulu.

Salam,
Fii

Lukewarm || Hui-Jiwoong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang