Tak peduli seberapa keras dipikirkan pun Hoetaek tetap tidak ingin merenggut impian Jiwoong hanya karena dia punya tujuan yang tak bisa dicapai dengan cara yang benar, bukan itu yang sebenarnya dia inginkan, Hoetaek menolak lagi tawaran sang manajer.
"Tolong hapus semua informasi yang kau dapatkan, Hyung. Aku juga sudah membakar berkas yang kau berikan," ucapnya di telpon.
"Loh, kenapa? Aku sudah berusaha jadi manajer yang baik untukmu, Hui, jangan bilang lagi bahwa aku tidak pernah mendukungmu."
Hoetaek menghela napas panjang. "Jangan libatkan Jiwoong. aku memohon padamu, Hyung." Lelaki di ujung sana terdiam sebentar, sepertinya dia dapat merasakan keputusasaan dari setiap helaan napas Hoetaek.
"Aku akan menuruti semua dramamu, asal kau tidak mengganggu lagi karir Jiwoong." Pernyataan Hoetaek membuatnya terkekeh pelan, ini memang di luar rencananya, tapi sepertinya itu adalah ide yang bagus.
"Kau mau menandatangani kontrak yang kutawarkan?" tanyanya memastikan.
"Tentu."
"Apa kau juga setuju menghadiri interview dengan skenario yang sudah kubuat?"
"Iya."
"Aku punya banyak sekali pekerjaan dan aku tidak yakin kau akan suka, tapi—"
Tak perlu berpikir dua kali, Hoetaek bahkan tak bisa menunggu sampai kalimatnya selesai, dia langsung menyela. "Iya, Hyung, aku setuju dengan semua rencanamu, asalkan kau meninggalkan Jiwoong, jangan mengusik hidupnya." Orang di ujung sana tentu tersenyum semringah, itu kabar baik, dia tak perlu lagi menghadapi Hui yang selalu banyak mendebat dan protes.
"Okay, deal. Aku akan melepaskan yang satu ini, tapi jangan lupa janjimu, setelah Boys Planet selesai kau akan sangat sibuk, jaga kesehatanmu, Hui."
Hoetaek tak menjawab, dia tahu kalimat itu hanya basa-basi saja, Hui tidak boleh sakit karena dia adalah mesin penghasil uangnya. "Semoga beruntung dengan hubungan kalian, Hui-ya, aku sungguh berharap hubungan itu tak akan mempengaruhi karir kekasihmu."
Matanya membelalak, tentu Hoetaek kaget, manajernya tahu bahwa Hui dan Jiwoong sedang berkencan? "Maksudmu, Hyung?"
"Untuk saat ini aku tak masalah dengan hubungan itu, tapi Hui, hubungan sesama jenis masih tabu di negeri ini, apa kau pikir publik bisa menerimanya?" Sang manajer tahu betul kelemahan Hui, dia menanam keraguan di benak artisnya itu.
"Mungkin karirnya akan tetap hancur kalau hubungan kalian diketahui publik." Sialnya kalimat itu membekas di pikiran Hoetaek selama berhari-hari, kecemasannya semakin menjadi sebab selama ini dia memang selalu mendapatkan diskrimanasi karena orientasi seksualnya, Hoetaek tak mau hal itu sampai mempengaruhi karir Jiwoong, apalagi sampai merenggut impiannya.
Kekhawatiran itu menjelma bagai monster yang menakutkan, membutakan pandangan Hoetaek, memicunya untuk mengambil keputusan sepihak, Jiwoong mungkin benar, Hoetaek sangat kejam, dia hanya mementingkan kecemasannya sendiri, bagaimana dengan perasaan Jiwoong?
Tentu lelaki itu tidak baik-baik saja, hatinya berantakan, dia tidak dalam mood yang baik sepanjang hari, dan sebisa mungkin dia menghindari Hoetaek, Jiwoong belum siap bertemu dengannya.
Bahkan ketika tak sengaja melihat Hoetaek kesusahan membawa kotak-kotak perlengkapan, Jiwoong tak menghampirinya, dia hanya memperhatikan dari jauh, bagaimana lelaki itu berusaha merapikan barang-barangnya yang jatuh. Dari ekor matanya Hoetaek juga bisa melihat Jiwoong, tapi dia tak berani menoleh, hingga Gyuvin menutup sudut pandangnya.
"Astaga, Hyung, jangan membawanya sambil melamun, 'kan jadi berantakan." Hoetaek mengembuskan napas kasar, entah kenapa ada rasa sakit yang menelusup ketika melirik ke samping dan menemukan Jiwoong tak lagi di sana, hilang.
***
Entah mengapa hujan di musim semi terasa menyedihkan, rintiknya jatuh di antara bunga-bunga sakura yang bermekaran, membawa serta kerinduan yang mendingin ditiup angin, Jiwoong menatap ke luar jendela, baru kali ini dia betah memandangi hujan lama-lama, suaranya menenangkan, seperti penghiburan untuknya yang sedang berantakan.
Sekali lagi Jiwoong menghela napas kasar, dia tidak bisa berhenti memikirkan Hoetaek, apa lelaki itu baik-baik saja? Kenapa dia harus bekerja keras seperti itu, sih? Jiwoong tidak tahan, dia ingin sekali berlari membantunya, tapi amarahnya menahan kaki Jiwoong untuk tidak mendekat, dia malah pergi mengasingkan diri dan berakhir di dapur.
Entah apa yang sedang dilakukannya dengan air yang dibiarkan mendidih di atas panci, dengan pandangan kosong Jiwoong merobek kopi instan, menuangkannya ke dalam gelas, lalu mematikan kompor, tangannya menuangkan air panas, tapi karena tidak konsentrasi, airnya terciprat mengenai tangan.
Refleks Jiwoong menaruh pancinya kembali, sebelum dia melihat tangannya seseorang lebih dulu meraihnya, berusaha mengusir panas dengan meniupnya, Jiwoong terpaku ketika mendongak, orang itu adalah Hoetaek, hening sejenak, Jiwoong membiarkan ruang rindunya terisi oleh wajah yang ingin dia lihat.
Namun, sedetik kemudian dia menarik tangannya kasar. "Aku bisa sendiri," katanya sembari memalingkan wajah. Hoetaek tak mengindahkan penolakan itu, dia menyalakan keran, lalu meraih lengan Jiwoong, menyiramnya dengan air yang mengalir.
"Diamkan sebentar, kulitmu harus kembali ke suhu normal," ujarnya tanpa menoleh. Jiwoong tak protes, dia membiarkan Hoetaek melihat luka di tangannya yang tak seberapa.
"Aku sedang marah padamu, Hyung, jangan membuatku tambah jengkel dengan berpura-pura peduli padaku," celetuknya tak tahan mendapatkan perhatian Hoetaek yang menurutnya sangat terlambat, luka di hatinya lebih perih dibandingkan ini.
"Apakah terasa sakit?" tanya Hoetaek mengabaikan kalimat tajam Jiwoong, maksudnya dia menanyakan luka bakar di tangannya, tapi Jiwoong tidak menganggapnya demikian.
"Sangat."
"Kurasa lukanya akan segera sembuh kalau kau merawatnya dengan baik."
"Bisakah kau menyembuhkannya, Hyung?"
Hoetaek menggeleng, kali ini mendongak melihat wajah Jiwoong yang terasa asing di matanya. "Maafkan aku, tapi kau butuh obat yang lebih baik, dan itu tidak ada padaku, aku tidak memilikinya." Jiwoong tersenyum hambar, dia tahu maksud sesungguhnya yang tersembunyi di balik kalimat penuh kiasan itu. Hoetaek menyuruhnya untuk melangkah maju tanpa dirinya.
"Tak bisakah kau mencarinya untukku?"
"Itu akan memakan waktu yang sangat lama dan tidak ada jaminan aku bisa mendapatkannya." Ini sangat menyebalkan, Hoetaek selalu bisa membalas pertanyaannya dengan kalimat metafora yang lebih rumit.
"Aku akan menunggumu tak peduli seberapa lama pun itu karena aku hanya ingin obat yang kau berikan, bukan dari yang lain."
"Tapi kau akan semakin terluka kalau tak segera diobati." Lihat! Jiwoong sudah berusaha untuk menurunkan egonya, tapi jawaban Hoetaek masih sama, apapun kata-katanya, kesimpulannya tak berubah, Hoetaek tetap mengunci pintu hatinya rapat-rapat.
Jiwoong tak bisa membalasnya lagi, dia terdiam, sebelum seorang staf menerabas menyela keheningan yang membungkus mereka.
"Ada telpon dari keluargamu, Jiwoong-ssi," ujarnya seraya menyerahkan ponsel perusahaan. Selama ada di asrama para peserta pelatihan memang dibatasi untuk menggunakan ponsel pribadi, oleh sebab itu perusahaan menginformasikan nomor darurat yang bisa dihubungi kalau ada urusan mendesak.
"Kenapa, Ara?" tanya Jiwoong sebelum mendengar nada kepanikan wanita di ujung sana.
"Oppa, Mama—"
"Ara, tenang ya, bicara yang benar, ada apa? Mama kenapa?" Sebisa mungkin Jiwoong menetralisir kepanikan adiknya dan berusaha tidak terpengaruh.
"Mama kecelakaan. Ara takut sekali, Ara takut mama—" Demi mendengar kalimat yang tidak selesai itu, pikiran Jiwoong seketika kosong, jantungnya mencelos, dia tak bisa menahan kepanikannya, Jiwoong segera lari tunggang-langgang ke rumah sakit.
***
Bersambung...
Aduh hati kecilku💔💔 masih kuat 'kah, kalian?
Ok, ketik 1 untuk mengirim santet ke pak manajer. Klik kolom komentar untuk mengirim doa kepada mama Kim 😭
Salam,
Fii
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukewarm || Hui-Jiwoong
FanfictionHanya orang gila yang bercita-cita ingin menjadi idol di Korea. Peluangnya sangat kecil, meskipun berhasil belum tentu bisa bertahan di industri ini. Hui adalah salah satu bukti kekejaman industri hiburan di Korea. Produser yang pernah mencapai masa...