Bab 15

646 90 104
                                    

Shanbin berbalik pada Hoetaek lalu melangkah maju, membuat pandangannya yang tadi melihat Jiwoong kini teralihkan pada Shanbin. Kedua alisnya terangkat, ada apa? Hoetaek tak mengerti kenapa tiba-tiba Shanbin menutupi sudut pandangnya.

"Kupikir kau tak ingin melihatnya." Shanbin menjawab pertanyaan tersirat Hoetaek seraya mengangkat bahunya enteng. "Jadi aku menutupnya untukmu." Sederhana saja masalanh ini baginya, jika Hoetaek kehilangan senyum karena Jiwoong, bukankah Hoetaek tidak suka padanya?

Ajaib, lengkungan indah itu kembali terbit di wajah Hoetaek. Shanbin berhasil mengembalikannya. "Shanbin, tubuhmu kurang lebar, aku masih bisa melihatnya," ujarnya diiringi tawa, menurutnya Shanbin lucu, Jiwoong memiliki tubuh yang sedikit lebih besar darinya, apalagi saat ini dia sedang berjalan mendekat pada mereka.

"Kalau begitu fokuskan pandanganmu padaku, Hyung, hanya untukku." Hoetaek menggeleng pelan, dia tidak menganggap serius perkataan Shanbin.

Namun, Shanbin tak peduli, dia merentangkan kedua tangannya. Sengaja memperlihatkan kedekatannya dengan Hoetaek di depan Jiwoong. "Atau haruskah aku memelukmu?" Itu ide bagus, andai saja Hoetaek setuju, tapi lelaki itu asyik terkekeh, malah menganggap Shanbin sedang melucu. "Kau juga bisa masuk ke dalam kausku, Hyung, ayo sini, kau harus bersembunyi." Shanbin sedikit mengangkat kausnya, kali ini dia memang bercanda, sengaja, untuk menyamarkan perasaannya.

"Shanbin cukup, Jiwoong bukan hantu, kenapa aku harus takut padanya dan lari sembunyi?" ujar Hoetaek ketika tawanya sudah berhenti. Shanbin tak sempat membalas perkataannya, Jiwoong lebih dulu memotong interaksi mereka.

"Lima menit saja, Hyung," ujarnya to the point. Hoetaek langsung mengerti, maksudnya Jiwoong ingin berbicara dengannya, hanya berdua, hanya lima menit, lalu Hoetaek mengangguk. Jiwoong tanpa bertanya, tanpa meminta persetujuannya langsung maju menggenggam tangan Hoetaek, menariknya lembut, tapi tubuhnya tidak bergerak, Hoetaek tak mau beranjak pergi.

"Di sini saja," katanya singkat, yang langsung membuat Jiwoong mendelik pada Shanbin, dia tidak mau anak ini mendengarkan percakapannya dengan Hoetaek. "Jika ingin bicara, maka katakan di sini, sekarang, atau tidak sama sekali," tegasnya. Tak peduli jika Jiwoong merasa tidak nyaman dengan kehadiran Shanbin.

Tangannya perlahan melepaskan genggaman, Jiwoong menghela napas kasar. Tak ada pilihan, meski kesal Jiwoong harus tetap berbicara dengan Hoetaek. "Maafkan aku karena telah membuatmu marah, Hyung," ujarnya.

"Aku tidak marah padamu, Jiwoong," sangkalnya sembari tertawa ringan. Hoetaek sungguhan tidak marah, untuk apa juga dia marah?

"Lalu kenapa kau terus-menerus menghindariku, Hyung? Apa salahku?"

"Maaf jika aku membuatmu merasa bersalah, Jiwoong. Tapi kau tak punya salah apapun padaku, hanya saja aku yang punya masalah." Lagi-lagi Hoetaek menggeleng, membuat Jiwoong semakin kebingungan. Dia tak menjawab, menunggu Hoetaek menjelaskan.

"Aku merasa bingung sekali karena sikapmu," lanjut Hoetaek.

"Maksudmu sikapku yang ramah pada semua orang? Dekat dengan Matthew, Jongwoo, Seowon-" Kalimatnya tiba-tiba terhenti, dia menatap Hoetaek lumayan lama. "Tapi, Hyung, bukankah kau juga dekat dengan banyak orang? Aku, Shanbin, Gyuvin, haruskah kusebutkan satu-satu, Hyung?" Mendengar namanya disebut Shanbin tadinya ingin menyahut, tapi urung dilakukan karena kode dari Hoetaek.

"Sebenarnya apa yang coba kau katakan, Jiwoong?"

"Jika kau marah padaku karena alasan itu, maka kuharap kau sadar diri karena kau juga sama sepertiku, Hyung." Alis Hoetaek terangkat, apa sekarang Jiwoong sedang menuduh Hoetaek bermain-main dengan semua orang yang disebutkannya tadi? Maksudnya Hoetaek tak kalah flamboyan darinya? Atau Jiwoong menuding Hoetaek murahan karena bisa didekati oleh banyak orang?

"Mungkin saja kau juga melakukannya dengan Shanbin di belakangku, aku tidak tahu." Intonasi Jiwoong berubah tajam, jelas ada amarah yang mencampurinya.

"Apa yang kulakukan?" tanya Hoetaek yang masih berusaha berpikiran positif.

"Ciuman misalnya," celetuknya tajam. Tangan Shanbin refleks terkepal, sedangkan Hoetaek terdiam, dia sangat terkejut dengan pemikiran Jiwoong, jadi benar, maksud kalimatnya sedari tadi adalah dia menuding Hoetaek murahan.

"Jaga bicaramu, Kim Jiwoong!" Shanbin berseru, membuat Jiwoong melirik sebentar ke arahnya, tapi Jiwoong tak membalas, dia tahu Shanbin tak akan melakukan lebih dari itu karena Hoetaek melarangnya.

"Jiwoong-ah." Berbeda dengan Shanbin yang sudah terbakar emosi, Hoetaek malah terlihat semakin tenang, seperti dia baru saja mendapatkan keyakinan baru.

"Terima kasih karena telah mengakhiri kebingunganku," ujarnya masih dengan ketenangan yang sama.

"Hidup ini tak semuanya tentang dirimu, aku benar-benar tidak marah karena kau dekat dengan banyak orang, tapi aku bingung dengan perasaanku sendiri." Hoetaek menjeda kalimatnya.

"Bukankah kau yang bilang bahwa perasaanku milikku, dan perasaanmu milikmu. Aku tak pernah penasaran dengan perasaanmu padaku. Yang kupertanyakan selama ini adalah perasaanku padamu." Jiwoong masih terdiam, otaknya berusaha mencerna kalimat Hoetaek.

"Apakah aku suka padamu?" Helaan napas terdengar dari mulutnya, Hoetaek memalingkan wajah sejenak. "Iya, aku suka padamu, bahkan aku pernah menciummu." Shanbin terpaku, dia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, Kim Jiwoong sialan!

"Lalu, apakah perasaan yang kurasakan ini membuatku nyaman?" Hoetaek kembali menatap Jiwoong. "Tentu saja, aku sangat merasa nyaman ketika bersamamu."

"Tapi, apakah kau pantas mendapatkanku?" Hoetaek menggeleng pelan. "Tidak, aku terlalu berharga untuk orang yang menganggapku MURAHAN." Sengaja Hoetaek menekankan kata terakhirnya, dia tidak perlu berteriak untuk apa marah-marah hanya karena hal sepele.

"Akhirnya aku menemukan jawaban untuk pertanyaan terakhirku, Jiwoong-ah, aku sungguh berterimakasih padamu," pungkasnya sembari menepuk bahu Jiwoong. Lelaki itu terdiam seribu bahasa, Hoetaek sungguh membuatnya tidak bisa berkutik, Jiwoong hanya bisa menghela napas kasar, dia melakukan kesalahan lagi, bahkan kali ini sangat serius.

"Maaf, Hyung, aku-"

"Tidak bermaksud?" Hoetaek memotong. "Tak apa, aku mengerti, orang dungu memang biasanya tak bisa mengatur pemikirannya sendiri."

Shanbin hampir tertawa karena kalimat sindiran tajam Hoetaek, terang-terangan dia menuding Jiwoong sebagai orang dungu, bukan bodoh lagi, tapi dungu. Memang benar, sih, Jiwoong itu dungu karena dia menyia-nyiakan perasaan suka Hoetaek padanya.

Gila, saat ini Hoetaek terlihat sangat keren Di mata Shanbin, dia bukanlah tipe orang yang akan mengemis cinta, dia tahu nilai harga dirinya sendiri. Shanbin tak akan menjadi dungu seperti Jiwoong, kesempatannya telah datang.

"Ayo, Shanbin, kita pergi." Hoetaek merentangkan tangannya, mengajak Shanbin bergandengan.

Tentu saja Shanbin langsung menyambutnya, sengaja dia melirik Jiwoong sebentar, sebelum melangkah pergi dengan riang, meninggalkan si dungu Jiwoong yang lagi-lagi merasa menyesal.

***

Bersambung...

Siapa yang setuju sama Shanbin? Hoetaek emang keren banget, gila, gak perlu marah-marah tapi kata-katanya beuh tajam menusuk. Apakah kalian udah puas menertawakan si dungu? Hahahahahah, ayo tertawa lebih keras, saudaraku!!!

Oh iya, jangan nyariin kalo Fii ngilang beberapa hari ya, wkwkwk, tahan dulu rasa penasaran kalian, eh, tapi emang kalian masih penasaran, tah?🤭

Salam,
Fii

Lukewarm || Hui-Jiwoong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang