BAB 2

15.2K 1K 145
                                    

Dua minggu telah berlalu, dan Leon menikmati kehidupannya, dia dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Hari-harinya dijalani dengan kebahagiaan yang sederhana: Belajar, makan, nonton Netflix, minum, duduk sambil menghirup udara segar, dan tidur di sebagian besar waktu luangnya.

Namun, karena gaya hidupnya yang santai itu, teratai putih yang busuk hampir tidak bisa menunjukkan bakat dramanya.

"Beginilah seharusnya hidup," gumam Leon sambil menyeruput teh hijau hangat. Tatapannya jatuh pada taman bunga di luar jendela, sebuah pemandangan yang tertata rapi dengan pepohonan bergaya klasik. Angin sejuk menerpa wajahnya, menggerakkan surainya seperti kapas putih.

Leon memejamkan mata, menikmati suasana. Di sekelilingnya, para pelayan mondar-mandir menjalankan tugas mereka, tetapi tak satu pun berani mengganggu sang tuan muda yang sedang bersantai.

"Kalau aku punya anak seperti dia, aku akan menyembah 100 Tuhan," gumam salah satu pelayan sambil mencuri pandang ke arah Leon.

"Setuju. Dia terlalu tampan untuk dibiarkan begitu saja," sahut pelayan lain, menahan decak kagum.

Namun, tidak semua pelayan memiliki pandangan yang sama. Lina, salah satu pelayan yang lebih tua, hanya mendengus pelan sambil bergidik mengingat pengalaman pahit dua minggu lalu. Luka di lidahnya masih terasa, bekas saat dia nyaris menangis karena kelakuan anak yang mereka anggap rupawan.

"Kalau saja aku tidak punya tanggungan keluarga, sudah lama aku berhenti dari pekerjaan ini," batin Lina sambil meringis pelan.

Leon acuh tak acuh dengan mereka yang curi curi pandang pada nya, dia tak akan membiarkan siapapun menghancurkan kehidupan bahagia ini!.

Namun hidup memang suka mengecewakan. Tiba-tiba, suara keras menggelegar membuyarkan suasana damai.

BRAK!

Pintu kamar Leon terbuka lebar karena sebuah tendangan. Seorang remaja tampan berambut pirang berdiri di sana, rambutnya acak acakan dengan pergelangan kemeja yang di tarik naik.

menatap tajam ke arah Leon yang masih memunggungi pintu sambil bersandar di kursi goyang, berlagak seperti pria paruh baya kecil.

"LEON! Aku sudah bilang simpan flashdisk itu di tasku, kan? KENAPA TIDAK ADA? GARA-GARA KAMU, AKU JADI BAHAN TERTAWAN!" teriak Deyan, kakak ke tiga, dengan nada marah.

Namun, Leon tetap tak acuh. Matanya yang tenang memandang ke luar jendela, seolah suara Deyan hanyalah dengungan nyamuk. Namun tatapan nya barubah dari santai menjadi datar. Menyesap teh sambil mengumpat.

Deyan mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena kesal. "Beraninya kau mengabaikan ku!" geramnya sambil menarik kursi Leon hingga berputar, memaksa adiknya untuk menatapnya.

Leon hanya mendesah pelan, mengalihkan pandangan. "Di masa ini, anak-anak sungguh menjengkelkan," batinnya sambil menyerahkan cangkir tehnya kepada Deyan.

Deyan yang tengah panas langsung meminum teh itu dalam sekali teguk. Namun, meskipun tenggorokannya terasa lebih lega, kemarahannya belum juga reda.

"Di mana kamu menyimpan flashdisk itu, ha?" bentaknya lagi.

"Masih di laci mejamu," balas Leon dengan nada santai. "Kakimu cacat, jadi harus aku yang mengambilkan nya?. Tentu saja tidak."

"Apa susahnya kau bilang tidak mau?" Deyan semakin kesal, mencengkeram kerah piyama Leon.

Leon hanya menguap kecil, matanya yang lelah sedikit berair. "Aku sakit, Kamu memaksa orang sakit melayani mu?," balasnya datar.

Deyan menatap Leon dari atas hingga bawah. Adiknya ini tampak begitu menggemaskan dengan piyama putih bergambar beruang. Kalau saja Leon tidak menyebalkan, mungkin dia akan lebih sering memeluknya.

New Soul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang