“Kalau begitu aku akan menemui Ibu,” kata Salvia pada pria berusia 59 tahun yang duduk di sofa berhadapan dengan putranya, Bintang. Sejak tadi Salvia tidak tahan dengan atmosfer tegang di antara ayah dan anak itu.
“Hm,” balas ayah mertuanya.
Salvia menoleh pada Bintang sebelum beranjak dari ruang tamu. Pria itu hanya mengangguk kecil padanya. Sekarang ia bisa menghirup napas lebih lega.
Dulunya hubungan Bintang dan ayahnya cukup baik, tapi sejak dua setengah tahun lalu ketika Bintang memilih pernikahan kontrak dengan Salvia daripada wanita pilihan sang ayah, membuat pria itu selalu memasang wajah permusuhan pada Bintang.
Dua setengah tahun lalu Gilang Candra Sagara meminta Bintang membawakan cucu menantu. Saat itu Tuan Gilang sakit parah dan Bintang tentu saja menuruti. Satu bulan setelah mengenalkan Salvia pada Tuan Gilang, pria itu meninggal.
Bintang adalah cucu satu-satunya dan mendapat warisan paling banyak, tapi ada satu syarat agar Bintang bisa memiliki warisan tersebut, yang mengharuskannya tidak boleh ada perceraian selama tiga tahun pertama.
Begitulah yang Salvia baca. Tidak banyak disebutkan tentang Tuan Gilang.
Salvia mengetuk pintu ruang tamu khusus ibu mertuanya. Ia membuka pintu setelah mendapatkan izin. Wanita paruh baya yang masih terlihat seperti di umur empat puluhan tahun itu tengah duduk di sofa berwarna coklat.
Perlahan Salvia melangkah masuk lalu menutup pintu dengan pelan. “Selamat pagi, Bu,” ujarnya memberi salam dengan senyum mengembang.
“Kemari duduklah.”
Salvia melangkah ke sofa lalu duduk berhadapan dengan ibu mertuanya.
Detak jantung Salvia terasa berdebar lebih kencang, mendapatkan tatapan dari wanita paruh baya yang terlihat anggun, dibalut dress santai berwarna crimson. Dia adalah Laura Erina Dahayu, ibu mertuanya serta perempuan yang melahirkan Bintang. Sekarang Salvia tahu dari mana asal ketampanan Bintang.
Di atas meja sudah tersedia teh dan macaron yang memiliki warna hijau muda, merah dan merah muda. Kelihatannya lucu, jadi ia mengambil satu macaron warna merah muda. Namun, tangannya berhenti di udara dan ia mengembalikan macaron itu ke tempatnya lagi.
“Hari ini kita akan ke mana, Bu?” tanya Salvia. Setiap kali Salvia datang kemari tentu saja karena permintaan Laura. Dan setiap kali mereka akan pergi bersama untuk menghadiri suatu acara, pergi arisan ataupun shopping.
“Diajeng mengundangku ke rumahnya. Ini pasti karena dia ingin memamerkan menantu barunya,” jelas Laura.
“Begitu rupanya.”
Mendapatkan tatapan lekat dari Laura membuat Salvia agak sedikit canggung. Ia menundukkan kepala lalu mengambil cangkir teh dan macaron merah muda yang tadi. Satu gigitan sudah membuat Salvia ingin mengambil macaron warna lain lagi. Namun, itu akan membuatnya malu di depan Laura.
“Kita berangkat sebelum makan siang. Dan ganti pakaianmu nanti,” kata Laura.
“Ibu menyiapkan pakaian ganti untukku?” Salvia tak bisa menutupi keterkejutannya.
“Belum, tapi akan kuminta asistenku menyiapkannya sebelum berangkat.”
“Terima kasih, Bu,” kata Salvia dengan senyum tulus yang membuat Laura ikut menampilkan senyum kecil.
“Omong-omong tahun ini tahun ketiga, ya?”
Tahun ketiga yang dimaksud Laura adalah kontrak pernikahan Salvia dan Bintang. “Hm, iya. Tersisa enam bulan sebelum kontrak berakhir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasySalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...