22. Karena nama mereka sama

25.8K 3K 177
                                    

Maaf kalau masih ada typo. Jangan lupa voment.

*****

Salvia telah menimbang-nimbang saran Rayno selama lima hari terakhir. Meski bisnis yang disarankan Rayno cukup menjanjikan, mereka perlu melakukan riset terlebih dulu.

Ia kemudian membuat janji bertemu dengan Rayno di kafe buku—tempat biasanya mereka bertemu. Kepala Salvia dipenuhi rancangan-rancangan bisnis waralaba, tetapi ia belum tahu jenis waralaba apa yang akan dianjurkan Rayno nanti.

Kesibukannya selama beberapa hari ini, berhasil menjauhkannya dari Bintang. Mulai dari sarapan hingga makan malam, Salvia meminta asisten rumah membawakan ke kamarnya. Toh, dia sudah memberitahu Bintang—tidak ingin melihatnya selama beberapa hari.

Pria itu pun tidak mengganggunya. Ia berpikir Bintang cukup pengertian juga.

Napas Rayno masih terengah-engah ketika dia cepat-cepat duduk di kursinya. “Maaf, aku membuatmu menunggu. Aku menyelesaikan desain klien tadi.”

“Seharusnya kau telepon saja tadi. Kita bisa undur waktunya.”

“Maaf, maaf. Aku sangat sibuk sampai tidak sempat melirik ponsel,” jawabannya. “Kau sudah menghabiskan satu cangkir kopi, ya. Mau pesan lagi, tidak?”

Rayno merogoh sesuatu dari dalam ranselnya. Beberapa lembar kertas A4 yang bertuliskan rancangan bisnis. “Kau baca saja dulu, biar aku yang pesan.”

“Pesankan kopi lagi, sekalian keik matcha.”

Rayno mengangguk lalu bangkit lagi, sedangkan Salvia membaca berkas di tangannya. Rupanya Rayno memilih waralaba minimarket. Minimarket sudah bertebaran di mana-mana, sempat membuat Salvia tidak yakin. Dan mereka pasti butuh waktu berminggu-minggu mencari lokasi.

“Nah, ini kopimu,” katanya meletakkan kopi di depan Salvia.

“Kau yakin dengan ide bisnis ini?”

“Tentu saja yakin.”

“Tapi, mencari lokasi akan memakan waktu.”

“Kau pikir membuka pabrik tahu tidak memakan waktu lama? Kita tidak sedang membuka toko online, Salvia. Inilah yang aku cemaskan. Kau tidak punya basic bisnis.”

Ucapan Rayno seperti jarum yang menusuk jari Salvia, meski rasa sakitnya tidak sampai ke hati. Mungkin saja Salvia sudah terbiasa dengan kata-kata Rayno.

“Heh, seperti kau punya basic bisnis saja,” Salvia membalas seraya tersenyum miring.

“Jika kau setuju, aku buktikan akan menjadi rekan yang bisa menghasilkan uang untukmu,” tegasnya percaya diri. “Jika kau hanya sendiri, takutnya kau akan stres.”

Ia terdiam untuk beberapa menit sebelum melontarkan pertanyaan. “Baik, aku bisa mengajakmu. Tapi, berapa uang yang akan kau keluarkan?”

“Soal itu ...,” Rayno berpikir sejenak, sebelum kembali berucap, “aku harus pinjam dulu di bank.”

“Kupikir kau punya uang. Bilang saja kau yang ingin bangun bisnis dan perlu investor.”

Rayno tertawa canggung sembari menggaruk kepala belakang, karena Salvia menangkap basah keinginannya.

“Aku bisa jadi anak buahmu.”

****

“Dan tingkat penjualan furniture dapur di kuartal ketiga naik sebesar 4,36%. Saya pastinya akan meningkatkan penjualan di kuartal keempat.”

Salah satu CEO dari anak perusahaan, memaparkan keuntungan yang didapat dari perusahaan tempatnya bernaung—setelah mencuri perhatian anggota rapat. Semua orang yang ada di ruangan tersebut bertepuk tangan setelah CEO tersebut menyelesaikan laporan—yang merupakan laporan terakhir hari ini.

Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang