Laura mencari suaminya di kamar mereka dan menemukannya tengah memilih arloji untuk dipakai. Lelaki itu melirik sekilas sebelum kembali pada kegiatannya. Laura melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal. “Suamiku sejak kapan kau memikirkan hal ini? Mengapa tidak memberitahuku kalau kau sudah berubah pikiran?”
“Apa kau tidak senang?”
“Bukan begitu. Ini terlalu mendadak, kemungkinan Bintang tidak akan setuju. Melihat dia langsung pergi begitu saja. Kau tahu putra kita tidak bisa dikekang dengan perintah. Takutnya hanya akan menyakiti Salvia nanti.”
“Jika kau peduli padanya bujuk dia untuk meluluhkan Bintang. Dengan begitu dia akan menjadi menantumu selamanya. Sekarang latar belakangnya sudah tidak masalah lagi bagiku,” sahut Tuan Bara dengan santai. Ia melingkarkan arloji yang sudah ia pilih. “Bantu aku memakai arloji.”
Laura memasangkan arloji tersebut setelahnya mendongak karena suaminya lebih tinggi tujuh centimeter darinya. “Kau pikir Salvia akan mau?”
“Jangan tanyakan hal itu padaku, Laura.” Tuan Bara mendesah. Sebelum mengambil keputusan ini, dia sudah memikirkannya matang-matang—lagi pula jika menunggu Bintang menikah lagi—pastinya akan sangat lama.
“Suamiku, zaman sudah berubah. Perasaan merekalah yang penting sekarang. Kau selalu saja ikut campur dan mengatur Bintang, karena kaulah dia mengambil tindakan itu,” debat Laura.
“Itu karena dia ingin warisannya, Laura.”
Laura tidak bisa mendebat lagi karena Tuan Bara melontarkan sebuah fakta. Andai saja almarhum Tuan Besar Sagara memberikan persyaratan lain, Bintang tidak akan membawa Salvia ke dalam keluarga ini. Tuan Bara juga tidak akan menuntut Bintang untuk menikahi wanita pilihannya. Apakah dengan begitu Bintang dan juga Salvia bisa menemukan cinta sejati mereka.
Dua setengah tahun yang lalu saat putranya mengenalkan Salvia di hadapannya, ada sedikit penolakan dalam hati Laura. Mulai dari latar belakang Salvia dari keluarga biasa. Sifatnya yang suka bersenang-senang. Namun, Salvia menjaga diri dengan baik sampai tidak tersebar gosip ataupun skandal.
“Aku akan mencari Salvia,” kata Laura pada suaminya. Wanita itu bergegas membuka pintu kamar dengan perasaan campur aduk.
Di saat bersamaan, Salvia tengah berada di sebuah kamar yang pernah dipakai Bintang dulu. Ia berdiri di belakang jendela—tatapannya terfokus pada jejeran bonsai, tetapi pikirannya saat ini tidak bersama tubuhnya.
“Tidak ada gunanya Tuan Bara berubah pikiran sekarang. Orang yang sangat ingin hidup bersama putranya sudah tidak di sini lagi. Dia pikir aku mau diatur-atur, huh.”
Salvia sudah menetapkan keputusan yang baru saja ia renungkan dan ia rasa tidak perlu berpikir ulang. Ia sudah lama menghabiskan waktu di sisi karakter utama pria yang sulit ditebak isi hatinya.
Harus ia akui bahwa perhatian lelaki itu sempat menggoyahkan pendiriannya, membuatnya ingin menetap di dunia novel, dan tergoda untuk menantang karakter utama wanita. Apa karena ia sudah terlalu lama mendambakan dicintai dan diperhatikan layaknya kekasih?
Karena alur dalam novel sudah berubah, Salvia pikir tidak perlu menghindar lagi dan menunggu sampai perceraian tiba. Lagi-lagi hal tak terduga malah keluar dari mulut Tuan Bara yang jarang bersuara. Dari semua hal yang bisa Salvia lakukan, mengapa menginginkannya mengandung?
Suara ketukan menyadarkannya untuk menoleh lalu membawa langkahnya ke arah pintu. Salvia mengembangkan senyum ketika melihat Laura di depan pintu.
“Apa Ibu mencariku?”
“Boleh Ibu masuk sebentar?”
“Tentu saja.”
Ia membuka lebar pintu tersebut agar Laura bisa masuk dan setelahnya ia menutup pintu itu kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasySalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...