“Pikirmu dia cemburu? Dia sama sekali tidak cemburu dengan foto bodoh yang kau sebut itu,” kata Salvia datar karena Bintang ingin melindungi karakter utama. Ya, memang sudah semestinya begitu, meski alur cerita berubah, tapi perasaan para karakter akan tetap sama.
Kini ia penasaran bagaimana tampangnya saat dipotret bersama seorang pria.
Salvia memang tak mengharap secercah cinta datang padanya. Meski begitu, apa ia tidak diizinkan untuk merasa kecewa?
“Kedengarannya kau marah. Bintang sudah mengatasinya dan tidak akan ada yang berbicara buruk tentangmu ataupun aku.” Kelvin merasa atmosfer ruangan telah berubah menjadi dingin hingga ia takut untuk tertawa lagi.
“Lalu kenapa kalau aku marah? Kalian mungkin berpikir, hanya sekadar foto, bukan masalah besar dan tidak akan merugikan. Tapi bagaimana denganku? Sudah meminta pendapatku untuk cara mengatasi masalah itu?” Salvia menoleh pada Bintang yang memiliki ekspresi datar.
“Jangan membesar-besarkan hal kecil, Salvia. Semua sudah kuatasi,” tegas Bintang.
Salvia mengembuskan napas kasar sembari membuang muka. Sekarang ia paham mengapa Salvia asli begitu membenci Joana hingga keluarganya. Ia tidak akan murka dan membenci tanpa alasan.
Namun, ini bukan alasan Salvia asli membenci Joana. Mengingatkannya pada sebuah adegan di mana Joana secara tidak sengaja menjatuhkan kopi di atas kaki Salvia. Salvia asli membentak Joana dan menjadikan mereka pusat perhatian karyawan kantor ini. Setelah membuat Joana menangis, Salvia merengek pada Bintang. Alih-alih mendapatkan perhatian Bintang, Salvia mendapatkan teguran.
Saat itu Salvia asli menahan rasa sakit pada punggung kakinya. Ia sudah mengatakan kakinya perih dan sakit, meminta Bintang mengantarkannya ke rumah sakit.
Namun, Joana mengatakan, “Kopi itu sudah agak dingin. Bagaimana mungkin kaki Nona Salvia melepuh?”
Punggung kaki Salvia memang tidak melepuh, tapi kakinya merah sampai tidak bisa memakai sepatu ataupun high heels sampai beberapa hari. Karena rasa tidak peduli Bintang, jadinya pria itu tidak mengetahui derita Salvia.
“Salvia, kau harus percaya pada Bintang,” ucap Kelvin meyakinkan Salvia dan membuyarkan lamunannya.
Kehadiran Joana membawakan segelas sirop buah untuk Kelvin, kembali membuat ruangan itu sunyi. Joana tak mendengar percakapan mereka, oleh karena itu dia tetap memasang senyum.
“Makasih minumannya, Joana, kau bisa keluar sekarang,” pinta Kelvin. Joana mengangguk, sebelum pergi tatapannya jatuh pada dua gelas sirop yang tak tersentuh.
“Tidak ada yang bisa aku percaya di sini. Dan dia bilang aku membesar-besarkan masalah? Aku saja belum buat perhitungan dengan Imelda. Rasanya ingin menjambak rambut seseorang,” batin Salvia.
“Satu lagi, jangan karena perbuatan Kakak Iparnya, kau juga menyalahkan Joana.” Kelvin melirik sekilas pada Salvia lalu mengambil gelas sirop miliknya. “Mm manis.”
“Kelvin benar,” Bintang menimpali. “Lain kali aku akan meminta pendapatmu tentang apa pun yang menyangkut dirimu.”
Meski Salvia mengangguk setuju, tapi keduanya tidak akan menduga apa yang ada dalam benak Salvia. Ya, ya, dia mengerti bagaimana mereka berdua akan mati-matian menjaga dan membela Joana.
“Kalian menduga aku akan menyalahkan Joana?”
Kelvin menoleh. “Bukannya kau selalu begitu, ya? Kau akan menyalahkan orang-orang terdekat mereka yang telah mengganggumu. Dan kau akan mengusik mereka kembali. Kau harus tahu kapan berhenti. Jangan terus-terusan menyusahkan Bintang dengan kekacauan yang kau buat.” Kelvin meminum seteguk sirop sebelum kembali menambahkan, “Seperti kau yang mau mengobrol denganku, bukankah itu suatu perubahan? Ubahlah sikapmu sedikit lagi.”
Bintang juga melirik padanya dengan mulut tertutup, tak ada niat untuk menyanggah ucapan Kelvin. Bintang memang berubah menjadi lebih perhatian padanya, tapi jika menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan Joana, pria itu akan lebih membela Joana.
“Dan karena itu menciptakan masalah, ‘kan? Harusnya aku tidak berbicara denganmu siang itu. Berpikirlah sebelum kau memberikan ceramah.”
“Kau menyalahkan aku? Itu rumahku, aku bisa pergi ke bagian mana pun di rumahku. Sedangkan kau berkeliaran di rumah orang lain,” sergah Kelvin.
“Hentikan! Kalian berdebat seperti anak kecil.”
Salvia dan Kelvin menutup mulut sembari membuang muka. Sementara Bintang menghela napas kasar. “Salvia, pulanglah sekarang. Aku dan Kelvin harus membicarakan pekerjaan.”
Salvia menyambar tas di sebelahnya lalu berdiri. Ia tidak menjawab ataupun menoleh pada kedua lelaki itu.
****
“Wajahmu sangat muram,” kata Rayno memperhatikan Salvia.
Salvia menarik kembali ucapannya dan meminta Rayno agar segera datang ke kafe buku. Dan ternyata pria itu benar-benar datang tanpa mempermasalahkan sikap dingin Salvia padanya.
“Aku marah, kesal dan kecewa, tapi hanya kau yang bisa aku hubungi. Itu membuatku lebih kesal lagi.” Suara Salvia bergetar, kepalanya tertunduk seperti akan menyemburkan tangis.
“Berusahalah lagi. Pelan-pelan mereka akan memaafkanmu.” Rayno berpikir kalau Salvia marah dan kecewa karena sikap orang tuanya.
Salvia menggeleng. “Kami tidak akan berbaikan. Sesuatu yang mustahil seperti itu, apa yang bisa kuharapkan?”
Ia berharap bisa berteriak. Atau setidaknya bisa menenggak minuman beralkohol, sayangnya baik Salvia asli ataupun dirinya tidak memiliki toleransi terhadap alkohol.
“Kau terlalu pesimis. Di mana Salvia yang senantiasa optimis meski gagal sekalipun? Kau dan orang tuamu akan berbaikan.”
“Ini bukan tentang kedua orang tuaku. Aku memintamu datang untuk menghiburku.” Salvia mendelik tajam ke arah Rayno. Sekarang ia merasa menyesal telah meminta pria itu datang.
“Jadi, orang yang kau maksud adalah suamimu? Dia yang membuatmu marah, kecewa dan sedih?” tebak Rayno.
Salvia menyeruput cappucino sembari berpikir. Haruskah ia menceritakan masalahnya pada pria yang masih dianggapnya mencurigakan?
Tidak. Ia telan saja cerita itu untuk dimimpikan nanti malam.
“Ceritakan saja padaku daripada kau mimpi buruk.”
Pria ini apa bisa membaca pikiran Salvia?
Salvia terbatuk akibat terperangah akan ucapan Rayno. Meletakkan cangkir di atas meja lalu ia mulai berbicara, “Aku tidak akan cerita, tapi ada yang ingin aku tanyakan.”
“Aku akan menjawab semua pertanyaanmu.”
****
“Kau tahu siang tadi orang kepercayaan Bintang menemuiku. Dia, bahkan mengancamku hanya karena sebuah foto,” gerutu Imelda sesaat setelah ia masuk ke kamar Joana.
“Seperti apa ancaman Pak Arsana?”
“Mengancam seluruh keluarga kita hanya karena wanita sialan itu.” Imelda bersandar di sofa single sembari menyilangkan kaki.
“Salahmu mencari masalah dengan keluarga Sagara. Yang kau sebut ‘Wanita sialan’ itu adalah menantu keluarga Sagara.” Joana melepas handuk yang membungkus rambutnya lalu mengeringkan dengan hair dryer secara perlahan. “Kak, jangan sampai kau keceplosan bilang begitu pada orang lain.”
“Tidak akan. Aku bisa menjaga mulutku,” Imelda terkekeh, mengambil buah jeruk di meja sofa dan mengupas kulit jeruk berwarna jingga cerah itu. “Omong-omong kau bilang pada Banyu kalau Bos-mu dan wanita sialan itu tidak tidur bersama? Mereka pisah ranjang? Pantas saja dia mencoba mencari kehangatan pada pria lain.”
Joana seketika menoleh pada Imelda. “Mereka tidak berselingkuh. Berhentilah menggosipkan mereka sebelum kau menghancurkan keluarga kita.”
Kakak iparnya tidak berhenti bergosip setelah mendapatkan bahan gosip baru. Joana khawatir kalau Imelda akan keceplosan karena begitu sering bertemu dengan teman-teman barunya.
“Tenanglah, Joana. Ini hanya di antara kita. Bagaimana dengan pertanyaanku tadi. Mereka tidak tidur satu kamar?”
Joana kembali pada kegiatannya mengeringkan rambut. Mengamati Imelda lewat cermin di depannya. “Iya, begitulah. Tapi, pagi ini aku melihat Tuan Bintang keluar dari kamar Salvia.”
Mata Imelda seketika berbinar karena mendapat bahan gosip baru. Namun, sebelum dia sempat mengolah kata, Joana bangkit dari meja rias, mengagetkan Imelda.
“Jangan coba-coba memberitahu orang lain atau kita semua akan menderita karena mulut kakak. Sebaiknya Kakak jaga baik-baik pertemanan Kakak dengan para wanita sosialita itu.”
Imelda melempar jeruk di tangannya karena terburu-buru bangkit dari sofa untuk menghampiri Joana. “Aku baru ingat. Mutiara dan Alisha ingin mengundangmu ke pertemuan berikutnya. Mereka memujimu karena berhasil mendapatkan posisi sebagai asisten Bintang.”
“Tidak bisa. Aku sangat sibuk,” tolak Joana. Ia merasa tidak cocok bergabung dengan mereka apalagi mereka adalah teman-teman Salvia juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasySalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...