Bintang mengambil satu botol wine dan dua gelas lalu meletakkannya di atas meja bar mini. Membuka tutup botol tersebut dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Ia meletakkan botol wine di depan Kelvin. Namun, pria itu menggeleng—menolak karena akan menyetir nanti.
“Akan kupanggilkan sopir pengganti,” ujar Bintang.
Kelvin terlihat agak ragu pada awalnya dan berpikir sejenak, sebelum tangannya meraih botol wine dan menuangkan ke gelasnya.
“Joana pasti akan membenciku,” ujar Kelvin.
“Salvia juga akan membencimu. Hari ini kau membuatnya kesal dua kali,” timpal Bintang mengingatkan kesalahan Kelvin tadi siang.
Kelvin membola dan mulai mengingat apa saja yang ia katakan pada Salvia. Akan tetapi, pria ini hanya fokus akan kesalahannya pada Joana padahal dia menyakiti dua orang lainnya.
“Sekarang katakan alasanmu menggunakan karyawanku untuk kepentinganmu,” desak Bintang, setelahnya meneguk minuman.
“Kau tahu meski ada banyak wanita yang mau membantuku menghadapi Harum, dan mereka akan bersikap sama seperti Harum nantinya. Tapi, Joana berbeda karena dia tidak mungkin seperti para wanita yang mendekati aku.”
Bintang melongo mendengar penjelasan Kelvin. Terlalu kekanakan dan mementingkan diri sendiri. Meski begitu, emosi yang menguasainya tadi tak lantas membuatnya membenci Kelvin.
“Kau baru mengenalnya dan kau sudah seyakin itu?”
“Entahlah. Kubilang akan memaafkan Kakak Iparnya jadi dia mau membantuku.”
“Apa? Kau merendahkan Salvia, nyatanya kau sendiri yang memiliki sifat buruk. Aku bahkan, membelamu tadi siang dan mengabaikan perasaannya. Harusnya aku tahu kau itu pria tengik.”
Tangan Bintang meraih gelas wine lalu menenggak isinya sampai habis. Ia kembali menuangkan minuman itu ke dalam gelas dan melakukan hal yang sama sampai wine dalam gelasnya tersisa setengah.
“Aku akan minta maaf pada Salvia sebentar lagi. Sudah puas?”
“Bajingan, membuat jengkel saja. Minta maaf padanya besok pagi saja. Dia mungkin sudah tidur sekarang.” Bintang masih bersabar untuk tidak melayangkan tinju pada Kelvin. “Untungnya kau adalah sahabatku. Tapi, jangan melewati batasan lagi.”
Kelvin mengangguk kuat-kuat membuat kepalanya sampai pusing. Kemudian mengisi kembali gelasnya dengan wine.
****
Tubuh Salvia tertutup selimut, meski memaksa untuk memejam tetap saja ia tidak bisa memasuki dunia mimpi. Oleh karena itu ia menegakkan punggung, wajahnya lesu dan rambut lurusnya tampak acak-acakan.
Ia mengambil bantal guling lalu menumpukan lutut di atas kasur. Kedua tangannya yang memegang bantal guling terangkat tinggi lalu memukul-mukul ranjang.
“Sudah berapa kali kuingatkan diriku untuk tidak ikut campur! Aku bukan Salvia asli jadi untuk apa ... untuk apa ikut campur?” Napasnya tersengal lantaran ia memukul ranjang dengan kuat. “Sial.”
“Ah! Aku malah bilang ingin menikmati momen berdua lagi. Apa aku sudah gila?” Lantas ia tertawa di bawah selimut tebal membuat tawanya tak terdengar keras. “Ais, berlebihan.”
“Kau sudah tidur?”
Mendengar suara yang kini sudah akrab di telinganya, Salvia perlahan menyingkap selimut. Manik coklatnya terlihat enggan untuk sekadar melirik Bintang.
“Ini hari yang panjang juga melelahkan, mengapa kau tidak tidur—di kamarmu?” Mendengar langkah kaki pria itu, Salvia tak bisa tak melirik Bintang yang kini bersandar di ranjang sisi kiri. “Mengapa kau bersandar di sana?”
“Ya, ini hari yang panjang,” sahutnya, menoleh pada Salvia yang juga meliriknya. “Tapi, ada satu hal yang belum aku jawab.”
“Apa itu?” Ia kembali menyingkap selimut sembari menegakkan punggung dan berhadapan dengan Bintang.
“Ah, ingatanmu kurang bagus, ya. Padahal kau sendiri yang bertanya dan nadamu menukik.”
“Nada bicaraku menukik?” Salvia menunjuk mulutnya. “Matamu seperti jarum es, tahu.”
Bintang menegakkan punggung, bergeser untuk duduk lebih dekat pada Salvia. Sampai saat ini, Bintang adalah orang yang paling susah ditebak. Pernah Salvia menduga-duga apa yang dipikirkan oleh Bintang melalui tindakan yang dilakukan pria itu, ternyata tidak sama seperti dugaannya.
“Di dalam kontrak tidak tertulis kita boleh menyakiti perasaan satu sama lain,” ujar Salvia.
“Iya, aku tahu. Saat itu aku tidak berpikir panjang setelah melihat karyawanku menangis karena dimanfaatkan.”
Ia menatap Bintang yang penjelasan sungguh membuatya tak percaya. “Kau sudah tahu dia dimanfaatkan oleh Kelvin saat itu?” Ia menggeleng lalu melanjutkan, “kau tidak tahu. Kau bahkan melarangku untuk mendatangi mereka. Namun, setelah Joana menangis, kau langsung ke sana seperti orang yang kebakaran jenggot.”
Alih-alih menyahut, Bintang memperhatikan Salvia berlama-lama. Dikarenakan pria itu tak menyahut juga, Salvia berbicara lagi, “Karena kita bukan pasangan sungguhan, itu, sih urusan pribadimu. Kau tidak mau jelaskan juga—sepertinya bukan urusanku.” Salvia kembali berbaring menghadap langit-langit berwarna putih.
“Apa yang kau pikirkan, sih?” Bintang juga ikut berbaring di sisi kiri Salvia.
Ia memiringkan kepala ke kiri, sejenak melemparkan tatapan jengkel pada pria itu. “Kenapa malah balik tanya? Aku sudah bilang, urusan pribadimu bukan urusanku. Sudah tertera di kontrak.”
“Salvia, mengapa kau terus membawa kontrak pernikahan setiap kali berbicara? Aku lelah mendengarnya.”
Pria itu memejam. Air mukanya terlihat lelah dan sepertinya nyaman berbaring di ranjang Salvia. Salvia mengedipkan mata beberapa kali seraya mengerling pada pria di sebelahnya lalu menghitung sudah berapa kali ia membahas tentang kontrak tersebut.
“Rasanya baru dua kali. Di restoran dan tadi, apa tiga kali, ya,” gumamnya. “Aku juga lelah.”
“Aku penasaran pada satu hal,” kata Bintang.
“Apa itu cepat katakan. Sudah pukul satu dini hari, kapan kau bisa membiarkanku tidur.”
“Tentang apa yang kau pikirkan tadi,” timpalnya.
Salvia ragu-ragu untuk mengatakan pemikirannya sebab ia juga memikirkan reaksi Bintang nantinya. “Begini ... ah ... kau terlihat marah dan peduli pada karyawanmu itu, tapi ... apa kau tidak khawatir jika dia beranggapan bahwa ‘kau menganggapnya lebih dari sekadar karyawan.’ Kau mengerti maksudku, ‘kan?”
Kedua kelopak mata lelaki itu terangkat sempurna. Bulu matanya yang panjang tidak bergetar sama sekali saat ia menatap sepenuhnya pada Salvia.
Bintang terkekeh kecil. “Kau banyak bicara, tapi kedengaran rancu. Lucu sekali.”
“Bagian mana yang lucu, katakan.”
“Semua yang kau pikirkan itu lucu,” jawabnya lalu berbaring miring menghadap Salvia.
*****
Double update untuk semua yang sudah setia menunggu~
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasySalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...