“Dia cemas? Benar aku melihatnya cemas, tapi dia seperti anak kecil yang tidak mau mengaku. Tapi ... mengapa dia mencemaskanku?” Salvia terkikik saat terbayang respons Bintang barusan.
Ia menepuk-nepuk busa yang menutupi tubuhnya sampai ke leher di dalam bak mandi, tengah menikmati berendam air hangat. Salvia menoleh ke arah gawainya yang ditempatkan di samping bak mandi. Tangannya yang penuh busa, ia seka dengan handuk lalu merogoh smartphone berwarna hitam.
“Rayno,” gumamnya saat membuka pesan. Pesan itu berisi daftar apa saja yang disukai oleh kedua orang tua Salvia. “Dia ini ... tidak berbohong, ‘kan?”
Kemudian meletakkan benda itu kembali ke tempatnya. Salvia memejam menikmati mandi busa. Sampai air dalam bak mandi menjadi dingin, barulah ia menegakkan punggung dan bangkit lalu membersihkan diri di bawah shower.
Ia membungkus tubuhnya dengan mantel mandi berwarna putih. Setelah keluar dari kamar mandi, ia langsung berdiri di depan cermin sambil bernyanyi.
“Dia adalah Bintang Sagara, pria canggung, kadang dingin membuatku jadi dongkol.” Telunjuknya menunjuk bayangan dirinya melalui cermin. “Kadang dia perhatian, tapi tak membuatku langsung bahagia! Entahlah ... entahlah....”
“Ah!” Salvia memekik kencang ketika kedua manik coklatnya menemukan Bintang telah berdiri di sebelah sofa kamarnya. Sontak ia lari ke atas ranjang dan membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. “Apa yang kau lakukan di sini?” bentak Salvia.
Bintang belum menjawab lantaran masih terperangah akan nyanyian Salvia. Ia menatap lekat-lekat pada Salvia yang wajahnya sudah merona.
“Hei! Tuan Bintang, jangan hanya mematung!” Kehadiran Bintang membuat badannya gerah padahal ia baru saja selesai mandi. Wajahnya terasa panas seperti berhadapan dengan bara api. Ia malu bukan hanya karena didapati memakai mantel mandi, tetapi ia malu karena menyanyikan nama Bintang.
“Ah, itu ... tidak terduga,” ucap Bintang menahan tawa.
Merasa sangat malu, Salvia turun dari ranjang, masih terbungkus selimut. Ia menggeser pintu lalu menarik tirai.
Di balik pintu geser itu, Bintang kemudian duduk di sofa. Perlahan ia menyemburkan tawa sampai terpingkal-pingkal sampai kedua sudut matanya basah, ia pun mengusap dengan punggung ibu jarinya.
“Bisa-bisanya dia—” Bintang kembali menyemburkan tawa. Namun, tak lama karena suara pintu geser terdengar, membuatnya seketika menoleh mendapati Salvia sudah terbalut gaun panjang.
Salvia melangkah dengan ekspresi marah di wajahnya. “Apa yang kau inginkan?”
“Apa kau sudah makan malam?” Bintang menjawab dengan pertanyaan. Memang tujuannya datang ke kamar Salvia untuk menanyakan hal tersebut, tapi tak menyangka melihat tingkah lucu Salvia. Bintang tak membahasnya agar Salvia tak tambah marah.
“Sudah. Hanya itu yang ingin kau tanyakan?” Meski ia sudah makan pasta dan kentang goreng, tapi ia masih merasa lapar. Hanya saja enggan mengatakannya pada Bintang.
“Aku belum makan malam.”
“Lantas? Apa hubungannya denganku?” Salvia melangkah ke sofa dan duduk berseberangan dengan Bintang. “Eh? Bagaimana bisa kau belum makan malam. Apa mereka lupa menyajikan makan malam?”
“Mereka tidak lupa. Hanya saja aku sedikit bosan dengan masakan koki rumah kita,” sahut Bintang, yang tatapannya tak beralih dari Salvia. “Kau ... tidak merasa lapar lagi?”
Salvia menggigit bibirnya dan ingin menggeleng, tetapi sebenarnya ia memang lapar. Kebiasaan makan nasi tiga kali sehari, membuatnya kembali lapar.
“Lapar, sih, sedikit.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasiaSalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...