“Aku akan pulang kalau kau tidak mau melupakannya,” kesal Salvia seraya menoleh ke arah lain. Lantas mengerucutkan mulut seperti anak kecil sedang merajuk. Namun, jauh dalam benaknya, ia ingin menjerit yang lantang. “Jangan merusak suasana, oke?”
“Hm, tapi apa iya kau tidak bahagia saat aku memperhatikanmu?” tanya Bintang mengabaikan gertakannya seolah Salvia tidak akan berani pulang sendirian.
“Aku tidak mau menjawab.” Lantas Salvia bangkit diiringi dengan Bintang mendongak.
“Jadi, kau benar-benar ingin pulang—sendirian?”
“Aku mau ke toilet, Tuan Muda,” timpalnya, cepat-cepat membalik badan lalu berjalan keluar setelah membuka pintu ruangan tersebut. Salvia bersandar sejenak di depan pintu yang sudah ia tutup rapat. “Aku harusnya menjaga mulutku. Tidak! Dia yang salah karena masuk ke ranah pribadiku.”
Salvia menanyakan arah toilet pada salah satu pramusaji. Setelah menemukan toilet ia segera masuk ke dalam salah satu bilik dan duduk di atas closet yang tertutup, hanya untuk menghindari Bintang.
“Aku merasa malu. Sialan.”
Kurang lebih Salvia bersembunyi selama lima menit, sebelum memutuskan untuk keluar dari bilik. Di toilet itu hanya terdengar suara air yang jatuh di wastafel.
“Ternyata aku sendirian sejak tadi,” gumamnya. Jemari lentiknya mencomot tisu, menyeka setiap bagian tangannya yang basah. Kemudian ia mengatur napas lalu melangkah keluar berjalan di koridor yang sepi—entah kenapa ia merasa suhu ruangan bertambah dingin. Padahal sudah malam, seharusnya mereka menurunkan suhu pendingin ruangan.
Sesampainya di dalam ruangan, Salvia mendapati pesanan sudah tertata di meja. Dengan mata indahnya Bintang mengawasi setiap pergerakan Salvia sampai duduk dan tatapan mereka pun bertemu.
“Selamat makan,” kata Salvia yang sudah tidak sabar menyantap makanan tersebut, dan mendahului Bintang. Ia mengangkat pisau dan garpu segera memotong baked salmon di atas piring.
“Enak sekali,” puji Salvia sudah melupakan siapa yang merekomendasikan restoran tersebut.
“Kau menyukai menu di sini? Datanglah lagi kalau kau suka.”
Salvia menggeleng setelah memasukkan makanan ke dalam mulut. Ia mengunyah perlahan membiarkan Bintang bertanya melalui isyarat mata. “Aku juga ingin datang ke restoran lain. Makanan di sini enak bukan berarti aku akan terus datang kemari. Kau juga begitu, ‘kan?”
Bintang menjawab setelah menelan makanan. “Tetap saja aku akan lebih sering datang kemari. Mereka juga menyediakan ruangan VIP.”
Salvia melirik Bintang sejenak, “Lakukan saja. Lain kali aku yang pilih restoran.” Seperti tidak mau kalah, ia pun ingin merekomendasikan restoran dengan menggunakan ingatannya akan novel ini. “Yang punya pemandangan bagus. Masa kita hanya makan di dalam ruangan saja,” imbuh Salvia.
Bintang menyembunyikan senyum tipis lantaran sedikit menunduk, mengarah tatapan pada makan malamnya. “Akan kutunggu undangan makan malammu, Salvia. Apa perlu mengajak Arsana dan Joana juga?”
“Kau sudah gila, ya?” Hanya dalam benaknya, ia dapat melontarkan kalimat tersebut. Tentu saja sangat ingin mengatakannya pada Bintang. Namun, ia terlalu banyak berkata kasar hari ini.
“Kenapa mengajak mereka segala? Memangnya mereka pacaran sehingga perlu melakukan double date? Masa kontrak kita berakhir enam bulan lagi, aku ingin menikmati hari-hari kita berdua.”
Kedua kelopak mata Bintang terangkat sepenuhnya dan menatap dalam pada Salvia. “Enam bulan lagi, ya?”
“Kau lupa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasySalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...