Tidak ada yang menjelaskan padanya, wajah dan tubuhnya bukan miliknya. Saking miripnya, ia pikir tubuh aslinya ikut masuk ke dalam dunia ini.
Waktu seperti berhenti untuk Salvia, padahal ia bisa melihat mobil melaju, orang-orang berjalan di trotoar, melewati mereka dan Arsana masih menunggunya.
Satu hal yang Salvia yakini, bahwa orang ini pasti mengetahui sebab ia berada dalam dunia novel ini. Andaikan saja Salvia diperbolehkan untuk bicara. Ia ingin bertanya banyak hal. Juga ingin memakinya.
"Apa kau membacanya sampai selesai?"
Salvia dapat mendengar suara batuknya sendiri, artinya ia sudah bisa bicara. Dan tentunya harus menjawab pertanyaan pria itu.
"Me-membaca apa maksudmu?"
"Buku yang kau baca sebelum datang ke tempat ini," terangnya.
Salvia lagi-lagi membulat tak percaya. Banyak pertanyaan menyerbu dalam benaknya, tapi tak satu pun dapat ia uraikan. Ia menjawab pertanyaan pria itu dengan nada sedikit takut, "Tidak, tidak sampai akhir."
Senyum miring nampak di wajahnya, terlihat memukau tapi sinis di waktu bersamaan. "Sayang sekali."
Pria itu kemudian terkekeh sembari menarik tangannya dari bahu Salvia. Pada saat itu juga Salvia merasa dihadapkan dengan orang gila seperti di film-film yang pernah ia tonton.
"Lihat ekspresimu itu, Salvia. Kau ketakutan setengah mati," katanya.
"A-apa?"
"Waw ... meski sedang ketakutan wajahmu masih terlihat mempesona. Sudah kuduga setelah menikahi pria kaya itu, kau melupakan temanmu sendiri," ucapnya dengan nada kecewa. "Aku Rayno. Keterlaluan kalau kau melupakanku. Tapi aku tidak akan menyalahkanmu. Penampilanku terlihat berbeda, kan?"
Memangnya bagaimana penampilan pria ini dulu?
Awalnya pria bernama Rayno membuat Salvia ketakutan setengah mati. Tapi sekarang mengatakan kalau dia adalah kenalan Salvia. Pertama Salvia menebak bahwa Rayno mungkin teman lama atau teman masa kecil yang tidak pernah diceritakan. Kedua Rayno mungkin muncul setelah kematian Salvia asli. Makanya ia tidak mengenal tokoh pria ini.
Tunggu dulu. Kata-kata Rayno yang menyebabkan Salvia ketakutan, masih belum ada penjelasannya.
"Lalu kenapa menakuti aku tadi?"
"Karena aku ingin mengerjaimu. Aku marah padamu karena kau sulit dihubungi setelah menikah."
Penjelasan singkat Rayno belum menghilangkan kewaspadaan Salvia. Mengerjainya dengan fakta yang hanya diketahui Salvia, tidak mungkin hanya kebetulan.
"Lalu apa maksudnya dengan wajah yang sama, jiwa yang terpecah dan membaca sampai habis?" Salvia mengeratkan tinju, mengantisipasi kalau-kalau Rayno melakukan sesuatu padanya setelah mendengar pertanyaan yang ia lontarkan.
"Kau itu bodoh atau gimana, sih? Itu 'kan dialog dari novel favoritmu. Si tokoh utama yang jiwanya terpecah ke belahan dunia lain." Rayno memijat pelipisnya, memperlihatkan wajah kesal karena Salvia selalu memberinya pertanyaan.
Kepalan tangan Salvia mengendur. Dengan kesal kemudian menampar bahu Rayno, tapi malah menyakiti telapak tangannya. "Apa kau tidak bisa menyapaku dengan normal? Dasar bajingan."
"Lain kali kau mungkin tidak akan ketakutan seperti tadi. Bodoh sekali karena aku tidak mengabadikan momen tadi. Ckck."
"Kau berani?" Salvia menggertakkan gigi. Jika punya tenaga besar seperti Hulk, ia akan melemparkan Rayno ke planet lain. Mungkin ke planet di galaksi lain. Hanya membayangkan saja bisa membuatnya lebih tenang.
"Kalau tidak ada urusan, aku akan pulang," kata Salvia.
"Aku ikut ya. Aku tidak mau pulang naik bus. Panas. Aku tidak mau naik taksi, bayarnya mahal."
"Bus?" Tiba-tiba ingatan Salvia meloncat pada momen ketika Rayno minta maaf. "Kapan kita pernah bertemu di halte bus?"
"Tiga tahun lalu. Saat kau masih lajang dan saat kau masih menjadi temanku. Kita mengobrol lagi di mobil," kata Rayno.
Rayno selalu menjelaskan dengan lancar, oleh karenanya Salvia tidak menemukan celah kebohongan Rayno. Atau mungkin pria itu sangat jago mengarang, sampai mengatakan kebohongan pun seperti kejujuran.
Salvia belum bisa percaya begitu saja dan menaikkan kewaspadaan pada Rayno.
Ia berjalan menuju mobil, sampai di sana mendapat pertanyaan dari Arsana.
"Kenapa Nona lama sekali? Dan orang itu kenapa ingin menumpang? Saya bahkan tidak bisa menolak karena dia bilang Nona mengizinkannya."
Salvia mendelik malas pada Arsana. "Dia temanku. Antar saja sampai tujuan."
"Tuan Muda akan memarahi saya kalau tidak kembali ke kantor secepatnya." Wajah Arsana memang dipenuhi guratan kesal. Salahkan saja Rayno yang membuang-buang waktu mereka.
"Salahmu karena hampir menabrak dia," balas Salvia, balik menyalahkan Arsana.
Arsana menyerah. Masuk ke kursi pengemudi setelah Salvia sudah duduk tenang di dalam mobil bersama Rayno, pria yang baru dikenal Arsana. Rasa cemas sudah timbul dalam hatinya, takut Bos-nya akan marah membiarkan Salvia bersama seorang pria.
"Ke mana saya harus mengantarkan Anda?" Kalau bisa Arsana ingin menurunkannya sekarang juga.
"Kau bisa mengantarku ke jalan Wisteria. Aku tinggal di perumahan itu," balas Rayno, setelah itu menaikkan sudut bibir sambil menjatuhkan tatapan pada Salvia.
****
Setelah menurunkan Rayno di jalan Wisteria, secepatnya mereka kembali ke rumah. Ekspresi kesal Arsana belum juga hilang dan Salvia tidak peduli. Ia masuk ke rumah lebih dulu, mengabaikan barang-barang mahal yang dibelinya.
Pelayan membawa kedua tas belanja mengikuti Salvia menaiki tangga ke lantai dua.
Sesampainya di kamar Salvia melompat dan menjatuhkan tubuhnya ke ranjang bersamaan dengan teriakan kaget dari pelayan. Salvia segera menoleh ke belakang. Sial.
"Maaf, Nona. Saya hanya khawatir kalau Anda kenapa-kenapa," kata pelayan wanita.
"Aku baik-baik saja. Tidak ada tulangku yang patah."
"Tetap saja Anda tidak boleh melompat seperti tadi. Kalau terjadi sesuatu pada Nona, Tuan Muda akan memecat kami."
"Baiklah," kata Salvia sambil melemparkan senyum.
Pelayan itu meletakkan kedua tas belanja di atas meja sofa. Di depan tempat tidur Salvia, ada sofa lengkap dengan TV berukuran besar. Sebuah pintu geser menjadi pembatas tempat tidur dan sofa.
"Nona mau menu makan malam apa?"
Sambil berbaring malas menghadap langit-langit, Salvia menjawab, "Mie ayam."
"Ya?"
"Bukan, bukan, bukan. Maksudku steik. Aku mau steik," katanya buru-buru meralat sambil menegakkan punggung. "Tapi, aku ingin makan mie ayam sekarang. Buat yang pedas ya. Kau boleh keluar."
Pelayan itu segera berlalu setelah mendapatkan perintah. Sementara Salvia merubah posisi menjadi tengkurap. Setelah tinggal di sini, ia tidak perlu bekerja lagi. Ia juga memiliki uang karena Bintang mengatur uang bulanan untuknya.
"Sebenarnya tinggal di sini juga enak. Aku bisa malas-malasan setiap hari dan dapat uang. Menjadi istri kontrak juga sebuah pekerjaan. Ini pekerjaan elite."
Ia memejamkan kedua kelopak matanya karena rasa kantuk, masih dengan posisi tengkurap. Dia melupakan mie ayam yang dimintanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/341244874-288-k238917.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Antagonis Tuan Muda Bintang (END)
FantasySalvia Alamanda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kesehatannya semakin memburuk. Pada malam itu ketika ia tengah menunggu bus sambil membaca novel favoritnya, napasnya menjadi berat dan pandangannya gelap membuatnya ambruk. **** Siapa sangk...