20. Mío

2K 325 465
                                    

Note : Mío (spanish) = Mine (english) = Milikku (indonesian)

🍂🍂🍂

Dua minggu kemudian....

Haerin mengalami demam selama tiga hari setelah mengalami mimisan yang parah. Suhu tubuhnya tak kunjung menurun, semakin naik, hingga wanita itu mengalami kejang-kejang. Tubuh wanita itu mendadak kaku dan sulit berbicara. Untungnya ia masih bertahan sampai kondisinya kembali normal.

Dokter yang menangani Haerin adalah dokter spesialis neurologi yang didatangkan dari Kanada. Sebenarnya hubungannya masih sepupu jauh Sir Jeon. Dokter itu mahir dalam beberapa bahasa, termasuk Korea dan Spanyol. Hal yang disampaikan dokter itu mudah dimengerti. Katanya, kondisi yang Haerin alami sekarang adalah dampak dari tembakan di kepala Haerin empat tahun yang lalu. Ada beberapa syaraf yang akan menegang jika Haerin mengalami tekanan besar yang menyebabkan trauma berat.

"Apa otakku...." Haerin menatap dokter yang memeriksanya. "Baik-baik saja?"

Soalnya Haerin merasa aneh. Hasil rontgen kepala yang dilihatnya seperti dimanipulasi.

Dokter itu tersenyum. "Senora akan baik-baik saja, asal Senora mengikuti saran saya kemarin. Masih ingat, 'kan? Senora tidak boleh kelelahan, harus istirahat yang cukup, jangan berpikir terlalu keras, dan tidak boleh larut dalam kesedihan."

Tatapan Haerin benar-benar kosong. "Jangan membohongiku. Aku tahu ini masalah serius."

Hening. Dokter itu langsung diam seribu bahasa.

"Bukankah kau akan merasa bersalah jika pasienmu meninggal tanpa mengetahui penyakitnya?"

"S-Senora ini hanya kelelahan saja, tak ada dampak yang fatal." Ya, dokter itu terpaksa menyembunyikan kebenarannya.

"Putriku mengidap fibrosis kistik karena kesalahanku. Penyakit itu menginfeksi paru-parunya dan sudah parah. Dokter bilang, kemungkinan paling lama dua tahun lagi." Air matanya kering, Haerin tidak bisa menangis meski ia ingin menangis. Bukan untuk dikasihani, namun Haerin ingin menyampaikan apa yang dirasakannya sekarang.

"Aku tak mau 'pulang' duluan, karena aku... masih harus membayar kesalahanku pada putri-putriku. Vanthia maupun Bora menderita karenaku."

"Senora...." Dokter itu sampai berhenti merapikan alat-alatnya dan menatap Haerin.

"Tolong katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Walaupun Haerin tahu ada sesuatu di dalam otaknya, namun ia tak pernah mendapat penjelasan secara medis. Seolah-olah semua dokter yang ditanyainya berusaha menyembunyikan kebenaran atas perintah suaminya.

Dokter itu diam sejenak, hendak membuka mulutnya tapi Jungkook masuk dengan tiba-tiba. Jungkook memberi batas waktu pada sang dokter untuk memeriksa keadaan Haerin agar tak ada informasi yang bocor. Karena sang dokter tak kunjung keluar, akhirnya pria itu membawa aura yang kelamnya.

Suasana kamar Haerin berubah drastis. Dokter itu kembali bungkam.

"Saya permisi, Senor." Seperti biasa, setelah memeriksa Haerin, dokter itu akan berbincang dengan Jungkook di ruang kerja Jungkook.

Jungkook duduk di sisi ranjang dan menatap Haerin cukup lama. "Istirahatlah," ujarnya singkat. Bentuk perhatiannya tak kental. Ringan, tapi cukup menghangatkan hati Haerin. Jujur saja, kondisi Haerin bisa cepat pulih karena sikap Jungkook.

Haerin tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan Jungkook, tapi tidak jadi. Ya, Jungkook tampak gengsi menyampaikan hal-hal selayaknya pasangan yang romantis. Pria itu buru-buru bangun.

"Senor."

Langkah Jungkook berhenti, posisinya membelakangi Haerin, dan masih dekat ranjang.

Merasa tak mendapat jawaban dari dokter itu, jadi Haerin langsung menanyakannya pada Jungkook. "Apa kematian akan menghampiriku?"

VANTABLACK [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang