"Kemari." Freen tertawa pelan, melihat Rebecca melompat ke sekeliling ruangan dengan satu kaki, mencoba memakai sepatunya. Gadis yang lebih kecil cekikikan dan terjatuh ke kasur, akhirnya berhasil memasang sepatu kedua.
"Kemana kita pergi?" tanya Rebecca, memiringkan kepalanya ke samping. Dia menatap penuh tanya pada tali sepatunya sebelum mendongak menatap Freen.
"Mall." Freen memberi tahunya, menunduk untuk mengikatkan tali sepatu Rebecca. "Kamu butuh sepatu baru. Dan pakaian."
"Aku butuh?" Rebecca mengerutkan alisnya, menunduk pada sepatunya. Mereka kelihatan baik-baik saja untuknya.
"Kamu praktis sudah melubangi sepatu ini." Freen tertawa, berdiri dan memberi isyarat pada Rebecca untuk mengikutinya. "Tambah lagi, kamu butuh mantel musim dingin yang sesungguhnya. Meskipun sekarang januari, musim dingin sepertinya tidak akan segera berakhir.
"Oh." Rebecca mengangguk sekali dan mempelajari wajah Freen. "Kamu marah padaku."
Sekarang giliran Freen yang kebingungan. "Marah?" dia menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa kamu berpikir aku marah padamu?"
"Karena aku buruk." Rebecca menggelengkan kepalanya dan mengikuti Freen melintasi parkiran. Saat mereka sampai ke mobil, gadis yang lebih kecil menghela nafas pelan dan duduk di kursi penumpang.
"Apa kamu membicarakan tentang semalam?" Freen bertanya saat mereka mulai keluar dari tempat parkir. Rebecca mengangguk ragu-ragu.
"Aku mengacaukannya." Rebecca mengerutkan hidungnya. "Kenapa aku seperti ini?"
"Karena kamu adalah kamu." Freen mengangkat bahu dan meraih tangannya untuk ditautkan ke tangannya sendiri. Dia tidak akan menyangkal kalau Rebecca berbeda. Gadis itu sudah menyadari itu. Freen hanya ingin memastikan kalau Rebecca tidak merasa bersalah pada siapapun karena menjadi dirinya.
"Dan aku bodoh." Gumam Rebecca, menggoyang kepalanya dan menunduk.
"BB..." Freen menghela nafas. "Kamu tidak bodoh." Percakapan seperti ini sudah berulang belakangan ini.
"Tapi aku tidak..." Rebecca mengerang dan menarik tangannya dari genggaman Freen. "Aku tidak mau bicara sekarang." Gumamnya, menggoyang kepalanya dan menempelkan kepalanya ke jendela.
Menghela nafas, Freen meletakkan kembali tangannya pada setir. Dia tidak yakin apapun yang dia katakan bisa meyakinkan Rebecca.
Sisa perjalanan mereka praktis dalam hening. Rebecca tidak memahami ketegangan diantara mereka. Apa Freen marah padanya? Gadis itu sudah kesal padanya semalam.
Rebecca meremas matanya menutup. Semua orang pasti kesal padanya. Mereka tidak paham. Dia menarik nafas dalam, seperti yang sudah diajarkan padanya saat dia merasa cemas.
"Kita sampai." Ucap Freen pelan, memasuki tempat parkir. Rebecca mengangkat kepalanya dan mempelajari gedung besar di hadapan mereka. Dia tiba-tiba merasa semakin gugup.
Begitu dia keluar dari mobil, dia bergegas ke samping Freen dan berpegangan pada lengan atasnya. Hal yang terakhir ingin dia lakukan adalah terpisah dari gadis itu. Freen adalah keamanannya, tempat keselamatannya. Tanpanya, semua terasa sepuluh kali lebih menakutkan.
Freen memandang Rebecca, menggigit bibirnya saat dia menuntun gadis yang lebih kecil itu ke dalam mall. "Aku tidak akan kemana-mana, BB." Dia tertawa lembut. Rebecca mendongak dan Freen bisa melihat kegugupan di raut wajahnya.
"Ayo, lebih sedikit keramaian di sini." Dia membawa mereka berdua ke toko pertama yang dia lihat. Rebecca sedikit tenang, mengikuti di belakang Freen saat dia mulai mencari pakaian di rak.
"Untukmu." Rebecca cekikikan, mengambil telinga kucing dari display dan mengangkatnya untuk dilihat Freen.
Freen mengerutkan hidungnya dan menggelengkan kepalanya, mengambil telinga kucing dan meletakkannya kembali dari tempat Rebecca mengambilnya. "Kita tidak belanja untukku. Kita mencoba menemukan pakaian untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
FanfictionBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...