DUA BELAS

1.2K 124 5
                                    

Tetesan air dari keran kamar mandi adalah satu-satunya hal yang dapat didengar oleh Rebecca saat tangannya yang gemetar meraba-raba ranselnya. Saat itu masih pagi. Lebih awal dari kebanyakan orang yang tiba di sekolah. Tetapi Rebecca memiliki banyak hal yang harus diurus.

Dia menarik napas dalam-dalam saat mengambil tas rias kecilnya dari ranse, membuka ritsletingnya dan meringis ketika dia menggerakkan bahunya terlalu cepat. Tubuhnya berdenyut kesakitan dan dia harus menyandarkan dirinya ke dinding kamar mandi. Tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk menangis, dia tahu bahwa hal itu hanya akan menambah rasa sakitnya.

Sambil terengah-engah, dia mengangkat bajunya ke atas kepala dan menggunakan cermin genggam kecilnya untuk memeriksa memar-memar yang ada. Rebecca mengoleskan sedikit foundation pada bekas luka tersebut, membaurkannya dengan lembut untuk menutupi perubahan warna. Hal ini sudah menjadi rutinitas pagi hari baginya.

Saat pikirannya mulai mengembara, dia teringat kembali pada kehidupannya sebelum kematian orang tuanya. Ide yang buruk. Dia segera mengangkat tangan ke mulutnya untuk menahan tangisnya. Dia meletakkan tas riasnya dan dengan hati-hati mencoba menyeka matanya agar maskaranya tidak luntur.

Gadis yang lebih kecil itu tersentak ketika mendengar derit pintu kamar mandi yang sudah dikenalnya. Dia membeku. Sambil menahan napas, dia mendengarkan langkah kaki ringan memasuki kamar mandi.

Freen menjatuhkan ranselnya ke lantai di sebelah wastafel, mengambil langkah mundur dan membenahi rambutnya di cermin. Seharusnya ini adalah kunjungan singkat ke kamar mandi, tetapi dia berhenti ketika mendengar suara dengusan kecil dari salah satu toilet.

"Halo?"

Rebecca membeku saat mendengar suara serak memenuhi ruangan. Freen. Sebanyak apa pun dia ingin menjawab, dia tahu lebih baik tidak mengganggu gadis itu. Dia menahan napas dan berusaha untuk tetap diam.

Freen sedikit menunduk, tidak mengenali siapa pemilik sepatu kets putih di bawah bilik toilet itu. Siapa pun pemiliknya, jelas tidak ingin ditemani. Freen menggigit bibirnya dan melirik tas ranselnya. Diam-diam, dia membuka tasnya dan mencari-cari sesuatu di dalamnya untuk beberapa saat.

Rebecca tersentak ketika ada sesuatu yang diselipkan dari bawah bilik. Dia menyipitkan matanya, menyadari bahwa itu adalah sebuah granola bar kecil dan sebungkus permen karet. Dia kebingungan.

"Bersikaplah baik pada dirimu sendiri." suara lembut Freen memenuhi ruangan itu. Rebecca merasakan jantungnya berdegup kencang. "Musim panas hampir tiba."

Gadis berambut hitam itu berdiri tepat saat Rebecca perlahan membungkuk untuk mengambil bungkusnya. Dia mendengarkan langkah kaki Freen yang bergerak menuju pintu kamar mandi. Kemudian ruangan itu menjadi sunyi senyap.

"Mereka ingin semua senior berada di gym, ngomong-ngomong," kata Freen sekali lagi. "Aku tidak tahu apakah kamu akan lulus hari ini... tapi jika iya... kupikir kamu pasti ingin tahu." gadis bermata indah itu berdehem. "Uh, ya. Kuharap kamu merasa lebih baik." Dia tergagap, mengutuk dirinya sendiri yang begitu canggung.

Rebecca tidak bisa menahan senyumannya. Gadis itu amat menggemaskan. Kalau saja dia tahu siapa yang berada dalam bilik toilet. Dia pasti tidak akan bersikap sebaik itu.

Begitu pintu kamar mandi tertutup, gadis yang lebih kecil perlahan membuka granola bar dan menggigitnya saat dia mengeluarkan topi dan gaun dari ranselnya.

Dia mempelajari bahan berwarna biru dan kuning, membaliknya di tangannya dan menghela napas pelan. Hari ini dia lulus. Hari ini, semuanya berubah.

Rebecca menekan tangannya ke bilik kamar mandi saat dia terlempar kembali ke dunia nyata. Begitu banyak perasaan yang saling bertentangan di kepalanya.

Freen baru saja akan pergi dari kamar mandi saat dia mendengar dua kaki menjejak lantai. Dia berhenti saat bilik toilet terbuka perlahan dan Rebecca melangkah maju perlahan.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang