TIGA PULUH

938 109 9
                                    

Kedua gadis itu duduk di sana dalam keheningan selama beberapa waktu, merasakan begitu banyak perasaan yang berbeda pada saat yang sama. Rebecca akhirnya mengangkat kepalanya dan meremas tangan freen. Mereka bersitatap untuk beberapa saat dan rebecca memberinya anggukan lembut, memberitahunya kalau dia siap untuk pergi.

Freen berdiri lebih dulu dan membantu rebecca berdiri. Ada keheningan yang nyaman diantara mereka. Mereka berada pada kondisi saling memahami. Kedua gadis itu cukup dekat hingga tidak dibutuhkan kata-kata. Mereka hanya tahu. Tidak ada satupun diantara mereka yang pernah mengalami ini dengan seseorang.

Rebecca menyandarkan kepalanya pada bahu freen saat mereka berjalan kembali melewati gym dan depan gedung sekolah. Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Pada titik inilah freen mulai bertanya-tanya kapan rebecca akan mengucapkan sesuatu. Dia ingin tahu apa yang dipikirkan gadis itu.

Kondisi rumah sibuk saat mereka pulang. Freen menarik tangan rebecca, mencoba menuntunnya ke lantai atas sebelum ada yang mengetahui kalau mereka sudah pulang. Sayangnya, mereka diinterupsi oleh langkah kaki kecil yang menuruni tangga.

Maggie memiringkan kepalanya ke samping saat dia melihat dua gadis itu. Dia bisa langsung tahu kalau ada sesuatu yang salah.

"Kenapa kamu sedih?" gadis kecil pirang itu melompat menuruni dua anak tangga terakhir dan dengan lembut menarik lengan baju rebecca agar dia menunduk. "Apa yang salah, Becca?"

Freen membuka mulutnya untuk menghentikan Maggie, tapi rebecca mendahuluinya.

"Aku menyakiti pifin." Bisik rebecca, menggoyang kepalanya. Freen menaikkan sebelah alisnya, tapi sebelum ada yang bisa merespon, freen mendengar suara ayahnya terdengar ke seluruh penjuru rumah.

"Freen? Apa kalian sudah pulang? Aku butuh bantuanmu!"

Gadis bermata hijau menatap rebecca, tapi pacarnya dengan mengejutkan mengangguk membiarkannya pergi.

"Apa kamu yakin?" bisik freen. Rebecca hanya mengangguk. Freen menggigit bibirnya ragu-ragu, tapi beranjak ke sisi lain rumah untuk melihat apa yang ayahnya butuhkan.

Maggie menarik lengan baju rebecca sekali lagi untuk menarik perhatiannya. "Aku selalu bicara dengan ibu kalau aku sedih dan dia akan membantuku. Ayo." Maggie menarik tangan rebecca ke arah anak tangga.

Rebecca menggigit bibirnya, membiarkan gadis yang lebih kecil menuntunnya ke lantai atas dan menuju kamar tidur utama.

"Bu, Becca sedih." Maggie cemberut, melepaskan tangan rebecca dan merangkak naik ke atas kasur dimana ibu freen duduk dengan buku di tangannya. Wanita itu mendongak saat Maggie memegang tangannya.

"Apa?" Clara menatap rebecca, yang berdiri malu-malu di pintu masuk dengan kepala menunduk.

"Dia bilang dia menyakiti Freen." Bisik Maggie. Wanita itu menaikkan sebelah alisnya dan berbalik pada putrinya.

"Bisakah kamu membantu Taylor menyiapkan makan malam? Ini pembicaraan orang dewasa." Clara memberi Maggie senyum lembut. Gadis kecil itu mengangguk, melompat turun dari kasur dan bergerak melewati rebecca untuk keluar dari kamar.

"Ayo duduk." Clara memberitahu gadis bermata cokelat yang lebih muda itu, menepuk pinggiran kasur. Rebecca mendongak malu-malu. Dia tidak yakin kalau Clara serius atau tidak. Ragu-ragu, gadis yang lebih kecil berjalan menuju kasur dan perlahan duduk.

"Aku tidak marah padamu, becky." Wanita itu tertawa pelan, mendesak rebecca untuk beringsut lebih dekat.

"Aku menyakitinya." Bisik rebecca. Dia menggelengkan kepalanya dan menunduk. Dia tidak suka mengetahui kalau dia pernah memberi efek negatif untuk freen. Dia hanya ingin melakukan hal baik untuk gadis itu.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang