"Kita punya tiga tempat yang harus dikunjungi." Jelas Freen selagi mereka berjalan. Rebecca mendengarkan dengan seksama, penasaran apa yang ada dalam pikiran Freen.
"Kita hanya akan pergi ke satu tempat hari ini." lanjut Freen, mengulurkan tangan dan menautkan jemari mereka. Rebecca tersenyum padanya, mengangguk dan melompat-lompat dengan gembira di depan mereka untuk memeriksa dendalion yang menyembul dari trotoar.
Freen menggigit bibirnya, bertanya-tanya apakah ini adalah hal yang tepat. Dia sadar bahwa hal itu mungkin agak menakutkan bagi Rebecca, tetapi dia juga lelah mencoba memperbaiki apa pun kecuali masalah yang sebenarnya.
Mereka berjalan beberapa saat, dan akhirnya Rebecca mencuri ponsel Freen untuk menelepon Nam dan memeriksa keadaan Wolf. Dia mengikuti di belakang Freen saat dia menghubungi nomor Nam, memegang telepon di telinganya dan tersenyum penuh semangat.
"Hello?" dia memiringkan kepalanya ke samping. Freen melirik padanya, memperhatikan saat gadis yang lebih kecil melebarkan matanya dan memekik penuh semangat. "Hai Nam!"
Sambil tertawa sendiri, Freen berlari ke belakang dan meraih tangan Rebecca yang bebas untuk menariknya ke depan. Gadis kecil itu mengoceh terus menerus kepada Nam tentang pemakaman, bahkan menjelaskan seluruh pakaiannya secara rinci.
"Aku akan membenturkan tinjuku denganmu, tapi aku tidak bisa melihatmu." Rebecca cekikikan. Freen memutar matanya, menarik tangan Rebecca untuk membuatnya berbelok menyusuri trotoar.
"Apa Wolf menjagamu?" goda Rebecca. Freen tidak bisa menahan tawa. lelucon Rebecca memang receh tapi sangat menghibur.
Mereka berjalan beberapa saat lagi hingga Freen berbelok ke sebuah jalan yang tidak asing lagi. Dia menggigit bibir dan menatap pada Rebecca, meremas tangannya dan menunjuk ke arah bangunan di seberang jalan.
Mata Rebecca meleabr dan dia hampir menjatuhkan ponsel. Freen dengan cepat mengambilnya, memberitahu Nam mereka harus pergi dan menatap lagi pada pacarnya, yang matanya sedang memindai bangunan besar itu dari atas ke bawah.
"Aku ingat." Ucap Rebecca pelan, menoleh pada Freen. "Kita punya chemistry."
"Ya, kita punya." Angguk Freen, melihat ke dua arah sebelum menuntun Rebecca menyeberang jalan. "Kamu tahu kenapa kita ke sini?" Rebecca memiringkan kepalanya ke samping, mengikuti tepat di belakang Freen.
"Ini adalah hal-hal yang familiar denganmu...sebelum...kecelakaan." Freen menjelaskan dengan lirih. Rebecca mulai berjalan menuju pintu depan gedung, namun Freen menariknya ke samping. Karena bingung, Rebecca mengikutinya.
"Cara terbaik untuk mengalahkan ketakutanmu adalah dengan menghadapinya." Lanjut Freen. Rebecca mengangguk pelan, bergegas maju dan berpegangan pada lengan Freen saat mereka mendekati bagian belakang gedung.
"Jadi, ini adalah langkah pertama." Bisik Freen, berbalik di sekitar pintu masuk belakang gedung. Rebecca berhenti berjalan saat dia melihat ada orang lain yang sedang bersandar pada dinding. Dia mengenali gadis berambut pirang itu.
"BB." Bisik Freen, dengan lembut menuntun Rebecca maju. Gadis itu tersenyum, menyambut Freen. Rebecca melanjutkan memperhatikannya. Dia tahu gadis itu. Dia mengenalinya.
Dan kemudian sesuatu klik. Rebecca beringsut mendekat pada Freen, berpegang pada lengannya dan menggigit bibirnya.
"Kamu pergi." Bisik Rebecca, menggoyang kepalanya dan menatap pada gadis itu, yang dia ingat sebagai Sydney. "Kamu pergi."
Sydney melirik pada Freen sebelum menggoyang kepalanya, "Apa maksudmu?"
Rebecca menggigit bibirnya. "Kamu pergi. Kamu tidak kembali." Dia menatap Freen dengan memelas. Gadis bermata hijau itu meremas tangannya dan memberinya senyuman mendukung.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
أدب الهواةBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...