TUJUH

1.2K 124 8
                                    

"Apa kamu sudah siap, Becky?" Noey mengetuk pelan pintu kamar. Rebecca menarik beanie ke kepalanya dan berjalan menuju pintu, membukanya perlahan dan tersenyum saat dia melihat gadis yang lebih tinggi di sisi lain pintu.

"Siap." Rebecca mengangguk sekali. "Apa Freen akan ada di sini saat kita pulang?"

"Dia akan selesai kuliah dalam satu jam." Noey mendorong pintu terbuka lebih lebar dan memberi isyarat pada Rebecca untuk mengikutinya. Rebecca memiliki janji terapi mingguannya hari ini.

"Aku lebih suka tidak pergi." Rebecca mengaku saat dia mengikuti Noey keluar menuju mobil. Noey mengangkat sebelah alisnya, memastikan Rebecca memasang sabuk pengaman sebelum mereka memasuki jalanan.

"Kenapa tidak?" tanya Noey. Rebecca menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mengenalnya." Rebecca menarik kakinya ke atas ke dadanya dan menatap keluar jendela. "Dia tidak mengenalku. Orang asing tidak berteman."

"Aku paham maksudmu." Noey berkata jujur. "Tapi dia adalah dokter, kamu harus setidaknya membiarkan dia mencoba menolongmu."

"Kenapa aku butuh bantuan?" Rebecca mengangkat kepalanya dan menatap gadis yang lebih tua itu. Dia tidak paham kenapa dia harus pergi.

"Aku tidak yakin." Noey mengetukkan jemarinya pada kemudi. "Itu hanya sesuatu yang harus kamu lakukan, itu saja. Setiap orang butuh sesuatu untuk dilakukan. Kamu hanya butuh sedikit bantuan lebih banyak."

"Tapi tidak semua orang harus pergi dan bicara dengan orang asing." Rebecca menghela nafas. Ini membuatnya merasa berbeda. Ini membuatnya merasa bodoh. Kenapa cuma dia yang butuh bantuan?

"Itu tidak benar." Noey mengangkat bahunya. "Aku harus pergi setelah kelas dan meminta bantuan dari dosenku terkadang. Itu sebenarnya hal yang sama. Hanya saja aku butuh bantuan menari memakai heels, sedangkan kamu butuh bantuan dengan emosimu. Itu bukan sesuatu yang memalukan."

Rebecca mengangguk pelan. Apa yang diucapkan Noey mulai masuk akal. Tapi dia masih tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia merasa berbeda. Bukan berbeda yang baik juga. Berbeda yang membuat orang menatapmu saat kamu di tempat umum.

Begitu mereka sampai di kantor dokter, Rebecca diarahkan ke ruangan kecil. Dia duduk di kursi merah yang sama yang dia duduki beberapa kali sebelumnya. Ada beberapa kursi yang berbeda di dalam ruangan, tetapi dia memilih kursi berwarna merah karena itulah yang terjauh dari meja terapis.

"Bagaimana keadaan di rumah, Rebecca?" wanita berambut hitam mendongak dari mejanya. Rebecca menundukkan kepalanya dan memainkan tangannya dengan gugup.

"Baik." Dia mengangkat bahu dan menarik beanie di kepalanya. Freen memberikan topi itu padanya, dia ingat. Itu adalah topi kupluk keberuntungan Freen. Selama Rebecca mengenakannya dia bisa melakukan apapun.

"Apa yang kamu lakukan sejak terakhir kali kita bertemu?" wanita itu mengetukkan pensilnya di meja. Suara itu membuat kecemasan Rebecca meningkat.

"Aku pergi kuliah dengan PiFin." Rebecca mengingat, merasakan senyum kecil terbentuk di wajahnya.

"Bukankah maksudmu Freen?" tanya wanita itu. Rebecca mengangguk.

"Itu yang aku bilang." Gadis yang lebih kecil semakin gugup. "Namanya PiFin. Cuma aku yang bisa memanggilnya begitu. Dia PiFinku."

"Oh." Terapis itu menuliskan sesuatu. Rebecca tidak menyukai ekspresinya. Itu membuatnya khawatir.

"Aku juga mendapat teman." Rebecca keceplosan. Dia tahu kapanpun wanita itu menuliskan sesuatu berarti dia sudah mengatakan sesuatu yang salah. "Ada dua."

"Benarkah?" wanita itu mendongak. "Ceritakan padaku tentang mereka."

"Mereka ada di kelas PiFin. Ada gadis bernama Irin. Dan pacarnya bernama Toby. Dia membuat sesuatu dengan tanah liat." Rebecca menunduk menatap tangannya, dimana Irin menggambar bunga. Bunganya sudah hilang saat dia mandi, tapi masih ada sedikit warna gelap bekas cat hitam.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang