"Dia tidak akan bangun, Nam. Aku sudah mencobanya." Bisik Freen, melirik pada gadis yang lebih kecil yang tertidur di kasur. Nam mengabaikan ucapannya dan menyeringai.
"Ada pizza!" teriaknya, menepukkan tangannya.
Mata Rebecca perlahan terbuka dan beberapa saat kemudian, kepalanya terangkat kebingungan. "Pizza?" gumamnya, meniup untaian rambut dari wajahnya dan menatap kedua gadis yang berdiri di depannya.
"Sialan." Freen tertawa terbahak-bahak, menaikkan sebelah alisnya pada Nam. Rebecca mengerang dan membenamkan wajahnya di bantal.
"Itu tidak lucu." Suara Rebecca teredam dari balik bantal. Freen tertawa dan beringsut mendekat ke kasur, mencari tangan Rebecca di balik selimut dan meremasnya.
"Hei, ayo, kamu harus ikut kuliah denganku hari ini." ucap Freen lembut, menggigit bibirnya dan berharap Rebecca tidak akan memberi reaksi negatif. Gadis kecil bermata cokelat itu langsung mendongak kebingungan.
"Jadwal Kade berganti dan sekarang kamu harus ikut terus denganku setiap selasa dan kamis." Freen secara halus memberi isyarat pada Nam kalau dia bisa mengatasinya. Nam menangkap maksudnya dan menyelinap keluar dari kamar.
Bukan karena Freen tidak percaya meninggalkan Rebecca sendirian di rumah, karena dia percaya. Tapi karena dia memilih untuk tidak menghabiskan sepanjang hari mengkhawatirkan gadis itu. Dia lebih suka kalau Rebecca berada di dekatnya.
Sejujurnya, dia panik saat menyadari bahwa Kade tidak akan berada di rumah bersama Rebecca. Dia sedikit khawatir tentang apa yang akan terjadi jika Rebecca bersamanya. Tapi dia juga merasa terhibur pada fakta bahwa dosennya sudah bertemu Rebecca dan sepertinya menerimanya. Dia hanya bisa berharap dosennya tidak akan keberatan mempunyai ekstra mahasiswa di kelasnya.
"Apa?" Rebecca beranjak ke posisi duduk, menyeka matanya dan melihat ke seluruh ruangan dengan lelah. Freen tidak bisa menahan senyumannya melihat wajah kebingungan baru bangun tidur gadis yang lebih kecil itu. Rebecca menguap pelan dan memberi Freen senyum lelah.
"Kamu harus ikut denganku kuliah dan menemaniku melukis, tidak apa kan?" tanya Freen, duduk di samping Rebecca dan merapikan rambutnya yang kusut. Wajah Rebecca berbinar senang dan dia mengangguk.
"Kamu tahu bagaimana harus bersikap di kelas kan?" Freen memiringkan kepalanya ke samping. Rebecca cekikikan.
"Duh." Dia mengangkat tangannya ke atas. "Kamu harus mengangkat tanganmu kalau kamu mau pergi ke toilet."
Freen menggigit bibirnya dengan gugup. "Sebenarnya-,"
"Aku becanda." Rebecca tertawa. Freen menghela nafas lega. Rebecca sekarang lebih sering membuat lelucon yang bisa dipercaya, dan Freen masih belum terbiasa dengan itu.
"Aku akan bersikap baik, dan tidak akan menyebalkan." Rebecca menggodanya dan bangun dari kasur. Dia membuka lemari dan memindainya dengan perlahan sebelum berbalik kembali pada Freen. "Aku harus pakai apa?"
"Apapun yang kamu mau." Freen berjalan ke belakang gadis yang lebih kecil, memelukkan lengannya di pinggang gadis itu dan mencium pipinya. "Pastikan saja pakaianmu hangat, karena studionya dingin sekali."
Rebecca cekikikan, memperhatikan saat Freen menjulurkan tangan dari bahunya dan meraih celana jins dari dalam lemari. Begitu dia menemukan apa yang ingin dia pakai, dia pergi ke kamar mandi sementara Freen berganti pakaian di dalam kamar.
Freen berhenti sejenak saat dia mendengar suara frustrasi dari dalam kamar mandi. Mengangkat sebelah alisnya, Freen berjingkat ke seberang lorong.
"Kamu baik-baik saja di dalam sana?" Freen mengetuk pintu dua kali. Saat dia tidak mendapat jawaban, dia membuka pintu perlahan dan mengintip ke dalam kamar mandi. Rebecca sedang membungkuk di atas westafel, mencoba memakai maskara dengan tangan yang gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
FanfictionBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...