DUA PULUH SATU

1K 110 15
                                    

Freen terbangun keesokan harinya pada hari Senin dengan perasaan gelisah di dalam perutnya. Beberapa hari terakhir cukup berat untuk kedua gadis itu. Mimpi buruk itu kelihatannya datang dengan kecepatan penuh, dan Rebecca memiliki kecenderungan untuk mencoba menyembunyikannya. Meskipun Freen selalu bisa tahu.

Jadi saat dia terbangun dan tempat tidur kosong, Freen menghela nafas berat. Ini sudah menjadi kebiasaan diantara mereka. Dia memaki dirinya sendiri karena menjadi heavy sleeper (orang yang selalu tidur dengan nyenyak).

Gadis berambut gelap itu menguap, dalam diam menyeberangi lorong dan perlahan mengintip ke dalam kamar mandi. Seperti biasa, Rebecca berada di lantai dengan Wolf di pangkuannya. Menilik dari raut wajah gadis itu, dia tidak mendapat tidur yang cukup semalam.

Freen bahkan tidak perlu mengatakan apapun. Dia hanya duduk bersandar pada pintu dan memandangi Rebecca. Saat mata mereka bersitatap, Rebecca menggigit bibirnya dan beringsut mendekat pada Freen. Mereka berdua tahu. Tidak ada gunanya membicarakan tentang itu.

Freen mengalungkan lengannya pada tubuh pacarnya dan menariknya mendekat. Dia lelah sekali akan ini. Dia lelah melihat gadis yang sangat dicintainya berjuang melepaskan diri dari monsternya. Freen merasa tidak berdaya.

Dia menempelkan ciuman di kening Rebecca dan menghela nafas pelan. Janji temu yang dijadwalkan pada minggu sebelumnya adalah hari ini. Yang berarti Rebecca kemungkinan akan meninggalkan kantor dokter dengan resep yang memiliki kekuatan untuk menghalau mimpi buruk.

Kedua gadis itu duduk dalam keheningan untuk beberapa lama. Wolf akan mendongak menatap mereka sesekali, mendengkur dengan puas sebelum meringkuk kembali di pangkuan Rebecca. Gadis bermata cokelat merasa mati rasa. Jika ada, mimpi buruk itu semakin memburuk. Dan dia tidak tahu apa yang bisa dia lakukan untuk menghentikannya. Ada begitu besar harapan pada janji temu hari ini. Untuk mereka berdua.

"Apa kamu mau sarapan?" tanya Freen setelah beberapa menit dalam hening. Rebecca menunduk pada anak kucing di pangkuannya dan mengangguk, mengangkat Wolf ke lengannya.

Freen memberi Rebecca senyum lembut, bangkit berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Rebecca bangkit. Gadis yang lebih kecil mengikuti Freen menuju lorong, merangkak untuk naik ke meja begitu mereka sampai di dapur.

Saat Freen mengeluarkan kotak sereal dari pantry, Rebecca mengerutkan alisnya berpikir. Dia bicara saat Freen meletakkan dua mangkuk di atas meja.

"Kalau mereka tidak nyata, kenapa terasa sangat nyata?"

Freen mengangkat kepalanya dan melirik pacarnya. Dia bisa melihat emosi yang saling bertentangan pada wajahnya. Menyakitkan baginya mengetahui betapa membingungkan itu bagi Rebecca.

"Karena otak kita sangat rumit." Freen tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. Dia menuangkan sereal pada kedua mangkuk dan kemudian melompat duduk di atas meja mengikuti Rebecca. "Mereka hebat dalam menipu kita terkadang."

"Itu bodoh sekali." Gusar Rebecca, mengerutkan hidungnya. Dia tidak suka mimpi buruk. Yang dia inginkan hanyalah bisa tidur nyenyak tanpa terbangun dalam kepanikan. Tidak peduli apa yang dia lakukan, mereka sepertinya tidak mau menghilang.

"Aku tahu, sayang." Freen menghela nafas dan menyandarkan dagunya pada bahu Rebecca, mencium lehernya. "Kita hanya harus menunggu dan melihat apa yang akan dokter katakan pada kita."

"Aku harap itu membantu." Rebecca menggigil.

"Aku juga, BB." Freen memberi pacarnya senyum lembut. "Tapi kalau tidak berhasil, kita akan mencari jalan keluar lain. Kita akan selalu bisa."

"Iya." Bisik Rebecca, meletakkan Wolf di atas meja untuk dijelajahinya selagi dia memakan serealnya. Mereka baru memiliki anak kucing itu seminggu, tapi kedua gadis itu sudah jatuh cinta. Kalau mereka belum tahu kalau dia buta, mereka tidak akan mencurigainya. Anak kucing berbulu putih itu kelihatan baik-baik saja dengan penglihatannya.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang