Freen terbangun ketika tiba-tiba ada beban yang terangkat dari kasur. Sebelum dia bisa mengetahui apa yang sedang terjadi, dia mendengar langkah terburu-buru menghilang keluar dari kamar.
"Ap...?" Freen duduk dengan gugup, mengucek matanya dan melihat ke sekeliling kamar. Rebecca tidak ada di sana. Menarik nafas tajam, Freen bergegas menggosok matanya dan menendang selimut dari kakinya. Dia melirik pada jam. 12:15. Mereka tertidur tidak sampai sejam.
"Becca?" Freen mengeraskan suaranya, mencoba menghilangkan rasa lelahnya dan berjalan ke pintu. "Becca?!" panggilnya lebih keras saat tidak ada jawaban. Tepat saat dia akan keluar dari kamar, dia mendengar suara langkah kaki pelan datang dari anak tangga.
Rebecca muncul di puncak anak tangga, memegang kanvas ukuran sedang dan bergegas menuju Freen. Saat gadis yang lebih kecil mendekat, Freen menyadari air mata mengaliri wajahnya.
"Ada apa?" tanya Freen dengan cepat, melangkah maju bersamaan dengan Rebecca menyodorkan lukisan itu ke tangan Freen.
"Aku lupa." Rebecca menggelengkan kepalanya dan mundur selangkah. "Aku bodoh. Aku minta maaf." Dia menunduk menatap lantai, menghapus air matanya dengan kasar menggunakan lengan bajunya.
"Kamu apa?" tanya Freen, menunduk menatap lukisan yang dia temukan beberapa hari lalu. Itu masih membuatnya bergetar.
"Itu hadiah." Rebecca melangkah maju dan menunjuk lukisan. "Untukmu. Tapi sudah terlambat." Dia menghela nafas dan membenamkan wajahnya di tangannya. Dia tidak mau Freen melihatnya menangis.
"Kenapa itu terlambat?" Freen semakin bingung, menggunakan tangannya yang bebas untuk meraih dan menarik tangan Rebecca menjauh dari wajahnya. "Kenapa kamu menangis? Ini sangat indah, Becca." Dia menunduk menatap kanvas di tangannya.
"Itu hadiah valentine." Rebecca menggigit bibirnya dan membiarkan Freen mengulurkan tangan untuk menyeka air matanya. "Tapi aku...ini sudah terlambat."
"Oh, babe." Freen menggelengkan kepalanya dan menuntun Rebecca ke dalam kamar. "Tidak terlambat..." dia menghela nafas dan menyandarkan lukisan itu di mejanya sehingga lukisan itu bisa terlihat dari kasur. "Aku tidak..."
Rebecca mengikuti Freen ke atas kasur dan perlahan duduk. Gadis berambut gelap itu berpikir sejenak sebelum bicara sekali lagi.
"Aku juga tidak memberikan apapun padamu..." Freen menggelengkan kepalanya. "Maksudku, aku tentu saja punya sesuatu untukmu...tapi waktu kamu tidak mau bicara padaku, aku ... aku kira kamu tidak akan peduli."
"Aku peduli." Rebecca beringsut mendekat pada Freen dan menggenggam tangannya. "Aku peduli, PiFin. Aku peduli. Aku takut."
"Aku tahu." Freen menangkup tangan Rebecca dalam tangannya. "Tapi hari Valentine hanyalah sebuah hari kan? Maksudku, siapa yang bilang kita tidak bisa memiliki hari kita sendiri sekarang?"
"Sekarang?" Rebecca memiringkan kepalanya ke satu sisi.
"Iya." Freen mengangguk dan berdiri, berjalan menuju mejanya dan mencari-cari di dalam lacinya beberapa saat. "Sekarang." Dia duduk kembali di tempat tidur dan meletakkan kotak kecil di pangkuan Rebecca. "Selamat...Selamat hari kita." Dia tersenyum lembut, mencium pipi Rebecca.
"Untukku?" bisik Rebecca pelan, mengangkat kotak itu dan memutarnya di tangannya.
"Hanya untukmu." Freen tertawa pelan dan duduk bersila. "Bukalah."
Jemari mungil Rebecca dengan lembut merobek bungkusnya, memperlihatkan sebuah kotak kardus kecil. Dia mengangkat tutupnya, mengerutkan keningnya melihat isinya.
"Tali?" gadis yang lebih kecil mendongak pada Freen kebingungan.
Tertawa, gadis berambut gelap itu dengan lembut mengangkat benda itu keluar dari dalam kotak dan membuka gulungannya. "Mendekati." Dia tersenyum. "Ini tali sepatu. Untuk sepatumu." Dia menunjuk pada sepatu putih yang sudah usang di dekat pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
FanfictionBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...