TIGA PULUH DUA

845 117 9
                                    

[TRIGGER WARNING lagi (Penganiayaan/kekerasan/kematian) – Tolong lewati sampai tulisan italic berakhir kalau kamu tidak mampu membacanya. I love you guys]

Rebecca tersenyum lebar, dengan hati-hati memegang vas berat di tangannya dan berjalan menuju dapur. Dia bersenandung senang saat dia melihat pamannya berada di rumah, duduk di salah satu kursi.

"Aku membuat bunga." Rebecca tersenyum, berjalan ke arah pamannya dan membawa vas untuk ditunjukkan padanya. "Bunganya pink dan putih." Dia mengangguk dengan bangga. Senyumannya menghilang saat pamannya mengangkat kepalanya dan dia melihat botol di tangan pamannya.

"Kamu tidak 'membuat' bunga, bodoh." Gumamnya, memutar matanya. Rebecca tidak suka saat pamannya mabuk, dia selalu bersikap seperti ini. "Mereka akan mati tanpa air. Tuhan, apa kamu punya SEDIKIT saja akal sehat?" pamannya tertawa pahit dan meneggak lagi minumannya.

Rebecca menjadi khawatir, menunduk pada vas dan sedikit menggoyangnya untuk membuat bunga itu bergerak. Mengerutkan keningm dia melangkah maju dan mengarahkan vas lebih jauh lagi ke depan wajah pamannya.

"Aku membuat bunga." Ulang Rebecca, menggoyang vas sedikit hanya untuk menunjukkan maksudnya. "Lihat? Aku membuatnya."

Tiba-tiba, vas itu dihempaskan dari tangannya, membuatnya pecah di lantai di kakinya. Rebecca gemetaran, menunduk pada pecahan kaca dan bunga yang sekarang memenuhi lantai.

"Enyahlah." Ucapnya tidak jelas, sebelum mengembalikan perhatiannya kembali pada minumannya. Rebecca berdiri membeku selama beberapa detik sebelum matanya mendarat pada sisa bunganya. Dengan susah payah, dia mencari jalan di sekitar pecahan kaca agar bisa membungkuk dan memungutnya.

"Mereka butuh air?" tanyanya pelan, mengingat apa yang pamannya baru saja katakan. Dia menunduk pada bunga warna-warni di tangannya sebelum membawanya kembali ke depan wajah pamannya, menatap pada pamannya memelas.

Saat itulah semuanya berubah.

Rebecca menarik nafas tajam saat pamannya berdiri, membawa tangannya dari belakang punggungnya dan menekankan sesutu yang dingin di bawah dagunya. Rebecca tersentak mundur saat pamannya maju selangkah ke arahnya.

Dia berteriak, merasakan pecahan kaca di bawah kaki telanjangnya. Beberapa langkah kemudian dan dia ditekan ke dinding, kakinya mati rasa karena denyutan yang terus menerus dan menyakitkan.

"Ouch." Bisiknya, merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya saat dia menggeleng kepalanya dengan marah. "Ouch, ouch." Ulangnya terus menerus. Saat pamannya memindahkan pistol dari dagunya dan menekankannya ke dadanya, Rebecca panik. Dia tahu apa itu. Dia tahu apa yang bisa dilakukan dengan itu.

"T-tidak." Rebecca gemetaran, meremas matanya menutup. "Tolong, jangan." Dia menggeleng kepalanya dengan panik, mencoba mundur lebih jauh.

"Akan mudah sekali menarik pelatuknya." Ucapnya tidak jelas, menyeret laras pistol ke dadanya dan ke atas tulang selangkanya. "Iya kan?"

"Tolong." Bisik Rebecca, mencoba melepaskan diri dari cengkeramannya.

"Tolong apa?" dia tergelak, memindahkan pistol kembali ke dagunya. "Kamu mau aku mengakhiri ini?"

"To-t-tolong." Rebecc tergagap. Dia tidak bisa mengucapkan kata selain itu saat ini.

Untuk sesaat, pamannya menarik pistol menjauh dan memutarnya di tangannya, memeriksanya. "Kalau saja seseorang mencintaimu." Dia tertawa pahit, memutar matanya. "Mungkin akan ada seseorang yang peduli saat kamu pergi."

Nafas Rebecca nyaris lenyap ketika, dengan tangan terulur, laras pistol ditekan lurus ke dadanya.

Rebecca tidak pernah melawan balik. Tapi adrenalinya mengambil alih, dan dia panik. Dia meraih, mencoba mendorong pistol ke arah pamannya.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang