ENAM BELAS

1K 118 7
                                    

Freen hampir terlelap saat dia mendengar suara pintu apartemen ditutup dan suara gemerincing kunci, menandakan kalau seseorang pulang. Sebelum dia bisa membuka mulutnya, Rebecca sudah lebih dulu merangkak keluar dari tempat tidur dan berlari ke lorong.

Kebingungan, Freen mengucek matanya dan bangkit berdiri mengikuti gadis yang lebih kecil. Saat dia tiba di anak tangga teratas, dia berhenti.

"Nam?" suara Rebecca menggema di apartemen yang luas. Menyadari apa yang pacarnya lakukan, Freen melangkah mundur dan menyelinap kembali ke dalam kamar dalam diam.

Mengatakan bahwa Nam terkejut ketika dia mendengar Rebecca memanggil namanya adalah pernyataan yang meremehkan. Dia terlonjak, berputar dan menatap gadis lebih kecil yang mengabaikannya beberapa hari belakangan.

"Iya?" Nam tidak yakin reaksi seperti apa yang Rebecca harapkan darinya, tapi dia mencoba bersikap senormal mungkin.

"Aku..." Rebecca menunduk menatap sepatunya dan kemudian ke sofa. "Aku butuh bicara denganmu." Dia melirik pada Noey, yang sedang memindai isi kulkas dengan seksama. "Sendiri." Gadis yang lebih kecil menambahkan.

Noey berputar, menatap dari Rebecca ke Nam. Dia dan Kade praktis menjadi perisai Rebecca dari Freen dan Nam selama beberapa hari terakhir. Jadi mengatakan kalau dia terkejut melihat Rebecca tiba-tiba menghampiri Nam terlebih dahulu sangat meremehkan keadaan.

"Apa semuanya baik?" tanya Noey perlahan. Dia melirik Nam, yang kelihatan sama bingungnya dengannya. Rebecca mengangguk dengan cepat.

"Iya." Dia mendongak dari lantai dan memberi Noey tatapan penuh harap. Tidak mau menganggu apapun, Noey mengambil sebotol air dan pergi ke lantai atas.

"Bisakah kita...? Rebecca memberi isyarat ke arah sofa. Nam hanya mengangguk dan mengikuti Rebecca ke ruang tengah, membenamkan diri pada sofa biru khas mereka.

"Ada apa?" tanya Nam, menyingkirkan rambut dari wajahnya dan memberi Rebecca perhatian penuh. Dia memperhatikan bagaimana gadis yang lebih kecil menggeliat di kursinya dengan canggung.

"Aku minta maaf." Rebecca berkata ragu-ragu, mendongak menatap Nam dan menggigit bibirnya. Dia tidak yakin reaksi seperti apa yang dia harapkan. "Freen menelepon dokter."

"Apa?" Nam semakin bingung. "Kenapa?"

"Kamu meninjuku." Gumam Rebecca, menunduk menatap sepatunya.

"Aku meninjumu dan Freen harus menelpon dokter?" Nam tidak tahu sama sekali apa yang terjadi. "Kita bahkan tidak bicara seminggu belakangan."

"Tepat!" Rebecca melompat berdiri dan menggeleng kepalanya, mulai berjalan maju mundur dalam usaha mengumpulkan pikirannya.

"Aku ingat." Rebecca tiba-tiba berhenti berjalan dan berputar menghadap Nam. "Aku ingat kamu. Di sekolah...dan kamu..." dia tanpa sadar mengangkat tangannya ke atas untuk menangkup hidungnya. Nam langsung menyadari apa yang dimaksudkannya.

"Sialan." Nam mengutuk pelan dan menggelengkan kepalanya. "Aku-,"

"Aku tahu." Rebecca menghentikannya, melangkah maju dengan berani. "Jangan bilang maaf. Jangan." Gadis yang lebih kecil menggelengkan kepalanya dan mengangkat satu jarinya sebagai isyarat pada Nam untuk menunggu.

"Aku mengingat." Lanjut Rebecca setelah menarik nafas dalam. "Tapi...aku tidak begitu mengerti." Gadis yang lebih kecil menggigit bibirnya dan menunduk. "Tapi aku mencoba."

"Selama kamu menjadi semakin baik." Nam mengangkat bahunya. Rebecca mendongak kebingungan.

"Kamu bisa mengabaikanku selama yang kamu mau kalau itu berarti kamu semakin baik, Becca." Nam tergelak. "Aku hanya ingin kamu lebih baik. Aku rasa kita semua menginginkan itu."

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang