"Menurutmu Irin akan disana hari ini?" tanya Rebecca, berjalan cepat untuk mensejajari Freen saat mereka berjalan menuju depan gedung kampus. Sekarang minggu pertama februari, dan segalanya berjalan cukup lancar bagi mereka.
Dengan pengecualian persahabatan Rebecca dan Irin yang semakin akrab.
"Dia selalu hadir." Freen mengangkat bahu. Dia tidak bisa menahan rasa cemburunya. Freen sangat sadar kalau dia tidak bisa memiliki Rebecca hanya untuk dirinya. Tapi dia juga takut kalau Rebecca bisa dengan mudah menggantinya.
"Oh." Rebecca cekikikan, menggenggam tangan Freen dan menendang kerikil saat mereka berjalan. "Aku suka dia. Dia lucu."
"Aku tahu. Kamu sudah memberitahuku." Gumam Freen, mendorong pintu gedung yang lebar. Rebecca kebingungan melihat perubahan suasana hatinya yang tiba-tiba, tapi dengan cepat mengejarnya memasuki ruangan kelas.
"Hei, Becky!" salah satu pria melambai padanya. Rebecca tersenyum dan berjalan ke arahnya, mengulurkan tinjunya dan membuat suara ledakan. Di kelas yang dia hadiri, entah bagaimana dia berhasil berteman dengan hampir semua mahasiswa. Freen memperhatikan dengan pahit selama beberapa lama.
Dalam beberapa hal, gadis bermata indah itu bangga pada Rebecca yang berkembang. Dan tentu saja, dia harus senang karena Rebecca membuat kemajuan. Namun, seiring dengan kemajuannya, muncul pula kekhawatiran Freen. Dia berharap akan lebih mudah baginya untuk melindungi Rebecca. Tapi sekarang, gadis yang lebih kecil itu membutuhkan kebebasannya.
Rebecca menyapa sekelompok mahasiswa sebelum dengan cepat memindai ruangan dan buru-buru kembali ke samping Freen.
"Apa yang kamu lukis?" tanya Rebecca, menarik bangku ke dekat Freen. Gadis bermata indah itu memandang kosong pada kanvas.
"Aku belum tahu." Freen mengangkat bahu, menunduk pada pallet cat di tangannya. "Aku harus melukis apa?"
"Hmmm." Rebecca mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyandarkan dagunya di bahu Freen sehingga dia bisa mempelajari kanvas lebih dekat. "Lukis harimau."
"Harimau?" Freen menaikkan alisnya. "Aku tidak tahu bagaimana..."
"Kamu bisa melakukannya." Rebecca tersenyum dan mencium pipi Freen. Gadis yang lebih tua menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.
"Hanya untukmu." Bisiknya lembut, tahu bahwa dia tidak akan bisa menolak gadis yang lebih kecil. Rebecca menepuk tangannya dan tersenyum lebar.
"Aku mencintaimu." Senandungnya, mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Freen sebelum menghilang ke seberang ruangan. Freen menggigit bibirnya, menunduk pada catnya dan kemudian pada kanvas.
Sementara itu, Rebecca tersenyum bahagia saat dia berjalan ke meja Irin. Gadis itu kelihatan sedang fokus pada sesuatu, jadi Rebecca menarik bangku ke sampingnya dalam diam. Dia menonton semenit atau dua menit, menarik topi kupluk khas di kepalanya.
"Becky, lihat." Toby mengambil segumpal besar tanah liat, memegangnya di atas kepalanya dan membiarkannya jatuh ke meja. Tanah liat itu mendarat dengan suara plop, sedikit mendatar. Rebecca terlompat, tapi tertawa begitu dia menyadari kalau itu tidak berbahaya.
"Mau mencobanya?" Toby mengambil sebongkah kecil tanah liat. Rebecca mengangguk saat Toby menggulingkannya ke seberang meja, tapi Irin mengulurkan tangan untuk menghentikannya sebelum Rebecca bisa menangkap tanah liat itu.
"Jangan buat kekecauan lebih besar. Kamu sudah membuat kekacauan lebih dari cukup untuk kita semua." Dia tertawa, meletakkan kuasnya dan memberi isyarat pada noda tanah liat yang menempel di bajunya. Rebecca mengerutkan alisnya.
"Tapi aku mau mencobanya." Ucapnya pelan, menunjuk pada tanah liat dan kemudian menatap Irin penuh harap. Gadis satunya berpikir beberapa saat sebelum berdiri, memberi tanda pada Rebecca untuk menunggu sebelum menghilang ke belakang ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
FanfictionBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...